Pesawat Cukiu termasuk pesawat berukuran kecil bersayap satu,
bermesin tunggal dibuat oleh Pabrik Tachikawa, Jepang tahun 1938.
Bermotor radial dingin angin “Hitachi” mempunyai kekuatan 450
dayakuda. Kecepatan jelajah 210 km/h, Kecepatan mendarat 95 km/h,
Jarak Tempuh Terbang 950 km, batas ketinggian 5000 m.
Pesawat Cukiu buatan Jepang itu tergolong dalam jenis pesawat latih
lanjut walaupun awalnya dimaksudkan sebagai pesawat pengintai darat
yang dilengkapi dengan satu senjata kaliber 7,7 mm. Pesawat tersebut
pernah menjadi kekuatan udara Jepang ketika mengalahkan Belanda dan
menduduki Indonesia sejak tahun 1942.
Pesawat tersebut dikenal dengan memiliki tiga nama yaitu Ki-55,
Cukiu dan Ida. Ki-55 adalah nama yang populer di lingkungan militer
Jepang. Sedangkan Cukiu nama yang popular di Indonesia, sementara itu
Ida adalah nama yang diberikan oleh tentara sekutu pada masa Perang
Pasifik.
Oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) Cukiu dioperasikan
dari tahun 1946 sampai dengan 1948 diperuntukkan sebagai pesawat latih
lanjut, pengintai dan pengangkut. Sebagai identitas pesawat ini, pada
body bagian belakang terdapat tanda lingkaran berwarna Merah Putih yang
melambangkan bendera Indonesia sekaligus mengandung arti bahwa pesawat
tersebut adalah pesawat milik Indonesia. Pada awal mulanya sebelum
lingkaran tersebut, hanya berwarna putih ditengahnya ada lingkaran
berwarna merah yang melambangkan bendera Negara Jepang.
Pada bagian “
vertical elevator” tertulis huruf TK yang merupakan singkatan kata Tjukiu.
Ketika terjadi pengambilalihan beberapa pangkalan udara dari tangan
Jepang, beberapa pesawat Cukiu berhasil disita dan dikuasai di
Pangkalan Udara Bugis Malang dan Pangkalan Udara Cibeureum
Tasikmalaya. Di Pangkalan Udara Bugis Malang tercatat 25 pesawat
cukiu, namun tidak diketahui jumlah pasti di Pangkalan Udara Cibeureum.
Dari beberapa pesawat yang berhasil di kuasai, tetapi tidak
semua pesawat dapat digunakan, karena kondisi yang ada tidak terpelihara
dan dalam keadaran rusak, mengingat untuk menghidupkan kembali
membutuhkan suku cadang yang diperlukan namun tidak ada dan bahkan untuk
mencarinya harus kemana, karena negara masih dalam kodisi Negara serba
darurat.
Pesawat Cukiu kode TK dan nomor seri 105 |
Pada waktu itu bulan September 1945, pesawat-pesawat Cukiu yang ada
di Lanud Bugis Malang mulai diperbaiki. Tahap awal para
teknisi-teknisi Bangsa Indonesia berhasil memperbaiki empat pesawat,
setelah dinyatakan bisa hidup kemudian pesawat-pesawat itu diberi nomor
registrasi Cukiu 001, Cukiu 002, Cukiu 003 dan Cukiu 004.
Setelah pesawat-pesawat itu selesai diperbaiki oleh para teknisi
bangsa Indonesia muncul masalah baru, masalah tersebut karena saat itu
di Pangkalan Udara Bugis tidak ada pilot yang bisa menerbangkan pesawat
tersebut untuk melaksanakan uji terbang (
test flight).
Untuk keperluan
test flight tersebut didatangkanlah Dr.
Soegiri bersama dua orang pilot dan seorang montir warga negara Jepang
dari Surabaya. Ketiga orang Jepang tersebut sudah memakai nama
Indonesia yaitu Ali dan Atmo adalah pilot serta Amat seorang montir.
Awalnya dua orang pilot tersebut menolak untuk melakukan test flight
karena sesuai dengan perjanjian yang diadakan dengan Sekutu orang
Jepang tidak diperbolehkan terbang di Indonesia. Namun setelah didesak
dan diyakinkan bahwa mereka adalah penerbang Indonesia, akhirnya mereka
dengan senang hati mau menerimanya.
Pesawat
Cukiu T-108 berdampingan dengan Pesawat Angkut C-47 Dakota. Pada bodi
bagian belakang Cukiu terlihat bulatan berwarna merah putih. Begitu juga
pada vertikal elevator terlihat persegi merah putih sebagai lambang
bendera RI |
Dari hasil pengecekan yang dilaksanakan oleh para penerbang dan
teknisi pada pemerintahan Jepang, ternyata hanya dua Pesawat Cukiu yang
benar-benar siap untuk dilaksanakan
test flight yaitu Cukiu 003 dan Cukiu 004. Akhirnya kedua pesawat tersebut pada tanggal 17 Oktober 1945 diterbangkan, yang pertama
take off
adalah Pesawat Cukiu 003 dengan penerbang Atmo didampingi seorang
montir bernama Amat. Setelah 15 menit di udara kemudian pesawat
mendarat dalam keadaan selamat namun mesin masih dirasa belum
sempurna. Setelah penerbangan pertama berhasil mendarat dengan baik,
kemudian menyusul
test flight kedua pesawat Cukiu 004 dengan
penerbang Ali didampingi montir AS Hananjudin. Selama limabelas menit
pesawat mengudara di atas kota Malang kemudian mendarat kembali dengan
selamat.
Dalam test flight tersebut AS Hanandjudin diberi pelajaran cara-cara
mengemudikan pesawat udara dan tentu saja hal tersebut tidak
disia-siakannya. Kemudian penerbang Jepang tersebut juga sempat
mencoba keberanian bangsa Indonesia yang sedang bersamanya, dengan
mengadakan terbang akrobatik dan seakan-akan menyambar-nyambar di
sekitar kota Malang. Penerbangan yang cukup lama itu tentu saja
menarik perhatian beribu-ribu rakyat dan sambil bersorak-sorak
kegirangan mereka melambaikan tangan. Cukiu 003 juga sempat
diterbangkan oleh seorang teknisi yang bernama Sukarman setelah mendapat
pelajaran singkat dari Atmo. Sukarman sempat menerbangkan Cukiu 003
selama 2 jam mengitari kota Malang.
Pada awal tahun 1946 satu pesawat Cukiu yang berada di Malang,
diserahkan ke Sekolah Penerbang Yogyakarta. Pesawat Cukiu tersebut
diterbangkan sendiri oleh Agustinus Adisutjipto. Penyerahan pesawat
Cukiu tersebut merupakan realisasi dari permintaan Agustinus Adisutjipto
untuk para kadet Sekolah Penerbang Yogyakarta. Permintaan pesawat
tersebut berawal dari kunjungan Agustinus Adisutjipto pada bulan
Desember 1945 ke Pangkalan Udara Bugis Malang dan melihat banyaknya
pesawat-pesawat peninggalan Jepang.
Karena wilayah Malang, dibawah kendali Divisi VIII maka Agustinus
Adisutjipto menghubungi pihak Divisi VIII, hanya hasilnya tidak
menggembirakan dan keberatan mengijinkan pesawat-pesawat terbang dari
Bugis dibawa ke Yogyakarta. Karena tidak puas atas jawaban dari Divisi
III serta keinginannya untuk memiliki pesawat tersebut, kemudian
Agustinus Adisutjipto pergi ke Pangkalan Udara Bugis dan menemui
pimpinannya.
Akhirnya usahanya menampakkan hasil dan tidak sia-sia, bahkan hal ini
mendapat tanggapan yang baik dari pimpinan Pangkalan Udara Bugis.
Kemudian Tanggal 17 Februari 1946 merupakan hari yang berarti buat
Agustinus Adisutjipto, karena telah berhasil menerbangkan sebuah
pesawat Cukiu dari Pangkalan Udara Bugis menuju Pangkalan Udara Maguwo
Yogyakarta sebagai sumbangan pesawat udara pertama dari TKR Udara Malang
kepada Sekolah Penerbang Yogyakarta.
Pada tanggal 5 Maret 1946, satu lagi pesawat Cukiu yang ada di Bugis
Malang dibawa ke Pangkalan Udara Solo. Perpindahan satu pesawat Cukiu
tersebut atas permintaan Opsir Udara II Soejono (Komandan BKR Udara
Solo). Adapun pesawat yang diberikan ke Solo tersebut sudah diberi
nomor registrasi yaitu Cukiu 007 dalam keadaan
flegklaar (siap terbang).
Pesawat Cukiu di Lanud Bugis pada awal Perang Kemerdekaan |
Satu Pesawat Cukiu yang berada di Pangkalan Udara Cibeureum juga
berhasil diperbaiki oleh 18 orang teknisi pesawat dari Bandung.
Kedelapan belas teknisi yang dikoordnir oleh Toeloes Martoadmodjo
adalah M Jacoeb, Agoes Rasidi, Abdoel Gaffur, Karmoes S., Tatang Endi,
Hasan, Asep Rosadi, Wirajat, Machmoed, Abdoel Tocman, Endang Adjesan,
Sanoesi, Samsoe, Didi Samsoedin, Soedarso, Maskanan, dan Soedarman.
Perbaikan pesawat Cukiu di Lanud Tasik ini atas permintaan ketua Komite
Nasional Indonesia Daerah Tasikmalaya. Pesawat ini kemudian diberi
identitas merah putih untuk menunjukkan bahwa pesawat-pesawat tersebut
sudah menjadi milik Indonesia. Walaupun Pesawat Cukiu berhasil
diperbaiki tetapi tidak dilakukan uji atau percobaan terbang.
Salah satu pesawat cukiu mengalami kecelakaan pada saat penerbangan
dari Yogyakarta menuju Malang pada saat melakukan pendaratan darurat di
Sundeng Pacitan. Waktu itu pesawat yang diterbangkan oleh Opsir Udara
II Soejono dengan seorang teknisi Oemar Slamet. Ketika pendaratan
darurat, masyarakat setempat mengepung pesawat tersebut dan hampir
terjadi salah pengertian sehingga penerbangnya hampir terbunuh, karena
belum tahu kalau pesawat tersebut adalah milik bangsa Indonesia dan
mereka memperkirakan pesawat tersebut pesawat musuh.
Pada tanggal 14 September 1945, pesawat Cukiu mendarat di Kediri
(Nirbojo) yang diterbangkan oleh Opsir Udara II Patah. Pada tanggal 1
April 1946, dilaksanakan penerbangan solo oleh Abd. Saleh, Mantiri,
Soenarjo. Penerbangan itu merupakan permulaan latihan dengan pesawat
Tjukiu.
Disamping latihan terbang hal itu sekaligus mengemban tugas negara,
pada tanggal 23 April 1946 tiga buah pesawat Cukiu yaitu TK-04, TK-05
dan TK-06 tinggal landas dari Maguwo menuju Lapangan Udara Kemayoran
Jakarta. Penerbangan tiga cukiu tersebut dalam rangka membawa
rombongan Kasau Komodor Udara Suryadi Suryadarma dan Mayor Jenderal
Sudibyo untuk melaksanakan perundingn dengan Sekutu tentang pemulangan
RAPWI (
Repatriation Allied Prisoners of War and Internees). Jarak dari Maguwo ke Kemayoran ditempuh dalam waktu kurang dari 105 menit.
Tiga buah pesawat Cukiu di Lapangan Udara Kemayoran tanggal 23 April 1946 membawa pimpinan TRI ke perundingan APWI |
Sehari kemudian (24 April 1946) setelah perundingan selesai dua
pesawat Cukiu berhasil mengudara dengan tujuan yang berbeda. Cukiu
dengan registrasi TK 06 diterbangkan oleh Opsir Udara II Iswahjudi dan
Opsir Udara II A. Rasjid bertolak dari Pangkalan Udara Kemayoran menuju
Gorda Banten mengantarkan Kepala Staf Angkatan Udara Laksamana Udara
Surjadi Suryadarma. Penerbangan itu ditempuh dalam waktu 20 menit.
Setelah menginap semalam, esok harinya pesawat cukiu kembali mengudara
meninggalkan Gorda menuju ke Selat Sunda melintas ke Teluk Betung
selanjutnya ke Branti (Sumsel). Karena keadaan yang tidak mengijinkan
mereka tidak dapat mendarat di lapangan terbang Branti dan harus kembali
ke Banten. Mereka terbang 2 jam 15 menit terus menerus.
Cukiu TK-05 mengudara menuju Kalijati terus ke Yogyakarta dengan
Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto sebagai penerbangnya. Misi
mengantarkan Mayjen Sudibyo. Sedangkan Cukiu TK 04 rusak tinggal di
Kemayoran. Crew Opsir Udara II Imam Suwongso dan Opsir Muda Udara II
Kaswan Sumohardjono ditangkap Belanda di Jatinegara.
Pada tanggal 21-26 Mei 1946, dilakukan penerbangan formasi yang
terdiri atas 4 pesawat ke Jawa Barat, Sumatera dan Madura. Dua pesawat
ke Serang dengan penerbang Husein Sastranegara dan Santoso. Satu
pesawat terbang melalui Malang dengan Opsir Udara Sunarjo dan
Soeparman. Pesawat keempat dengan penerbang Opsir Udara Soejono beserta
Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma.
Dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia yang pertama tanggal 17 Agustus 1946, para anggota
teknik udara Pangkalan Udara Bugis bermaksud membuat suatu acara, yaitu
menerbangkan “Pesawat Merah Putih” di atas Kota Malang. Tetapi muncul
permasalahan, “Siapa yang akan menerbangkannya”, sedangkan
penerbang-penerbang Jepang telah kembali ke negerinya dan anggota teknik
yang pernah mendapat kesempatan belajar terbang dari Jepang, belum
berani menerbangkannya yaitu Soekarman, Moedjiman, Idung Soekotjo,
Djauhari dan AS Hanandjudin. Tetapi mereka telah bertekad pada hari
itu pesawat Merah Putih harus berada di Angkasa Indonesia. Kalau
Sulistijo adalah seorang penerbang, tidak demikian halnya dengan
Soekarman. Soekarman adalah seorang teknisi pesawat. Penunjukan
Soekarman sebagai salah satu penerbang pesawat Cukiu berbendera merah
putih pertama tersebut cukup menggelikan.
Setelah mereka berunding, ternyata Soekarnan dan Sutarmadji bersedia
untuk menjadi sukarelawan (bisa disamakan dengan bunuh diri) untuk
menerbangkan pesawat yang sama sekali belum mereka kuasai. Alasan
lain dia mempunyai kelainan di mata serta belum mempunyai keluarga,
sehingga tidak akan merepotkan teman-teman jika terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan. Waktu itu teman-temannya pun telah bersedia untuk
menyiapkan semacam dana “pensiun” yang diambilkan dari gaji
masing-masing dengan cara di potong sebesar Rp 2,5,- setiap bulan selama
masih berdinas di penerbangan.
Pada waktu itu tanggal 17 Agustus 1946 dipagi hari seluruh anggota
Pangkalan Udara Bugis telah siap di tempat yang telah di tentukan.
Kemudian waktu menunjukkan pukul 07.00 WIB menderulah dua pesawat Cukiu
dengan nomor registrasi 001 dan 003 yang diawaki Penerbang Sulistijo
dengan juru teknik Supardi dan Sukarnan dengan saudaranya (Sudarmadji)
yang hendak melakukan demonstrasi terbang. Tak lama kemudian pesawat
take off meninggalkan pangkalan Udara Bugis tanpa mengalami kesulitan, selanjutnya melakukan “
mission” untuk mengobarkan semangat rakyat Jawa Timur umumnya dan Malang khususnya serta menanamkan rasa cinta dirgantara.
Apa yang telah dilakukan oleh pesawat-pesawat Cukiu ini sangat
mendebarkan hati yang melihatnya, karena mereka melakukan demonstrasi
terbang rendah di atas alun-alun dan pasar Malang, bahkan karena begitu
rendahnya seakan-akan hampir saja menyambar terutama pucuk atap gereja
yang tergolong gedungnya tinggi. Setelah pesawat kembali ke Lapangan
Udara Bugis dan waktu akan mendarat tampaknya penerbang mengalami
kendala di pesawat, hal itu terbukti bahwa pesawat lama berputar-putar
saja di atas serta belum ada tanda-tanda akan mendarat. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran anggota yang berada di bawah, barangkali
dikarenakan kehabisan bahan bakar pesawat akhirnya terpaksa mendarat.
Pendaratan salah satu dari dua pesawat tersebut tidak berjalan mulus,
pesawat terjungkir di landasan sehingga pesawat terpotong jadi tiga
bagian dan motornya terlepas. Sementara penerbang dalam keadaan
selamat namun sedikit mengalami luka-luka ringan.
Hal ini sangat menggembirakan dan mengharukan teman-temannya setelah
mendarat dan penerbang terlihat aman dan selamat, kemudian segera secara
bersama-sama teman-teman yang berada di bawah segera mengeluarkan kedua
pilot dari dalam pesawat, dan mereka berdua dianggap sebagai “Pahlawan
Teknik Udara Malang”.
Salah satu pesawat Cukiu bersama pesawat Cureng dan Nishikoreng
yang ada di Pangkalan Udara Bugis Malang di kirim ke Pangkalan Udara
Panasan Solo. Pangkalan Udara yang waktu itu dipimpin oleh Komandan
Pangkalan H. Soejono tidak punya pesawat sementara disana mempunyai 14
orang tenaga teknik. Ketiga pesawat yang dalam keadaan rusak berat
tersebut dibawa ke Panasan Solo dengan menggunakan Kereta api. Sesampai
di Solo ketiga pesawat tersebut termasuk pesawat Cureng berhasil
diperbaiki pada bulan September 1946. Setelah berhasil diperbaiki,
dilakukan
test flight yang dilakukan oleh seorang penerbang RAF (Tan Gie Gan) yang kebetulan ada di sana.
Test flight dilakukan dua kali.
Test flight
pertama di atas kota Solo tidak berjalan dengan baik, tetapi setelah
diadakan perbaikan test flight kedua berhasil dengan baik.
Pada tanggal 27 Agsutus 1946 dilakukan terbang formasi dengan enam
buah pesawat jenis Nishikoreng, Cukiu dan Cureng menuju pangkalan Udara
Cibeureum Tasikmalaya. Kemudian melanjutkan penerbangan ke Pangkalan
Udara Gorda Banten, setelah mendarat di Gorda Pesawat Cureng
ditinggalkan karena mengalami kerusakan mesin. Keesokan harinya
dilanjutkan penerbangan ke Pangkalan Udara Branti Lampung. Kelima
pesawat kembali ke Maguwo lewat Gorda. Di Gorda ditinggalkan lagi
sebuah pesawat Cukiu karena kerusakan mesin. Dalam perjalanan pulang
ke Maguwo tiga pesawat melakukan pendaratan darurat.
Pada tanggal 26 September 1946, sebuah pesawat Cukiu jatuh di
Gowongan Utara (Yogyakarta) yang mengakhibatkan meninggalnya Penerbang
Opsir Udara Husein Sastranegara beserta Juru Teknik Rukidi. Pada saat
itu, Pesawat Cukiu yang diterbangkan oleh Husein Sastranegara mengemban
misi test flight di kota Yogyakarta. Rencana awal bahwa Pesawat
tersebut akan digunakan untuk mengangkut Perdana Menteri Republik
Indonesia Sutan Syahrir menuju Malang. Namun beberapa saat setelah
take off dari
Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta, pesawat mengalami kerusakan mesin
hingga jatuh terbakar di atas Gowongan Utara Yogyakarta.
Pada tanggal 3 Oktober 1946 peristiwa tidak terelakkan kembali,
terjadi sebuah Pesawat Cukiu jatuh di Ambarawa yang menyebabkan
meninggalnya Kadet Udara I Wim Prajitno dan Kadet Udara I Soeharto.
Pada tanggal 5 oktober 1946, pada hari Angkatan Perang tiga buah
pesawat Cukiu mengudara untuk menyebarkan pamflet dan mengadakan
pemoteran udara. Adapun awak pesawat yang menerbangkan pesawat tersebut
adalah Dr. Abdulrachman Saleh dengan seorang anggota pemotret, Soejono
dan Arjono, Iswahjudi. Pesawat yang diterbangkan oleh Opsir Udara II
Soejono jatuh di Sagau, akan tetapi dengan peristiwa itu tidak memakan
korban karena penerbang dan pemotret keduanya selamat.
Salah satu pesawat cukiu yang sudah menjadi milik RI yang
berlambangkan merah putih, pernah berubah identitas seperti bendera
Jerman. Waktu itu sekitar tahun 1946/1947 sebuah pesawat cukiu terbang
ke Sumatera dan mendarat disebuah lapangan terbang Sungai Buah dekat
Palembang. Pesawat itu diterbangkan oleh Wirjosaputro dan Halim
Perdanakusuma. Karena bahan bakarnya habis dan persediaan bensin udara
tidak ada, terpaksa nongkrong untuk beberapa waktu di Palembang.
Kesempatan itu oleh Yacoeb dipergunakan untuk overhaul terhadap pesawat
yang kehabisan bahan bakar tersebut. Setelah itu M. Jacoeb mendapat
ilham untuk merubah tanda pengenal merah putih bulat menjadi gambar
garuda hitam, mirip dengan symbol Negara Jerman. Tujuannya adalah untuk
mengelabui lawan agar dapat menembus blokade udara pihak Belanda yang
sangat ketat. Kita mengelabui Belanda dengan membuat identitas gambar
mirip dengan negara lain di Eropa, yaitu Jerman. Kalau melihat pesawat
terbang Jerman, Belanda diperkirakan tidak akan menyerang. Kemudian
setelah ada bahan bakar, pesawat tersebut diterbangkan kembali oleh
Wirjosaputro dan Halim Perdanakusuma untuk kembali ke Yogyakarta.
TNI-AU.