Melihat berbagai sistem senjata mutakhir di film science
fiction apakah kita sudah bisa menggunakan pasukan robot untuk
bertempur?
Michael Ardine – Bogor
Saat ini apa yang kita lihat dalam film science fiction
tentang pasukan Robot Perang yang mampu secara mandiri atau bersama-sama
bertempur di udara, darat, dan laut sudah dikembangkan dengan nama
teknologi Sistem Senjata Otonom (Autonomous Weapons Systems/ AWS).
Sistem Senjata Otonom adalah sistem senjata yang dapat memilih dan
menembak pada target sendiri tanpa campur tangan manusia. Senjata
sepenuhnya otonom untuk menilai konteks situasional di medan perang dan
memutuskan metode menyerang terbaik sesuai dengan informasi yang
diproses.
Sistem Senjata Otonom akan bertindak mengikuti suatu "kecerdasan
buatan" yang pada dasarnya diciptakan lewat perhitungan aritmetika dan
pemrograman robot. Namun sampai saat ini belum memiliki semua fitur
kecerdasan serta “perasaan” atau penilaian manusia, agar bisa
bertanggung jawab dan tunduk mematuhi aturan-aturan dan norma-norma.
Penggunaan kecerdasan buatan dalam konflik bersenjata yang akan menjadi
tantangan mendasar bagi perlindungan warga sipil sesuai dengan hak asasi
manusia internasional dan hukum humaniter.
Sistem Senjata Otonom berbeda dari sistem senjata remote control seperti Drone
atau wahana nirawak yang masih dikemudikan oleh manusia dan komputer
dari jarak jauh, karena tidak memerlukan panduan atau pengendalian
manusia setelah diprogram dan diaktifkan. Meskipun Sistem Senjata
Otonomi dengan kemampuan mematikan belum digunakan saat ini, namun
kemampuan beroperasi dengan berbagai tingkat otonomi atau kebebasan
bertindak dan menyerang sudah mulai digunakan. Sistem robot dengan
berbagai tingkat otonomi dan mematikan telah digunakan secara aktif oleh
Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan Korea Selatan.
Penggunaan intensif pesawat tanpa awak MQ - 1 Predator
adalah saat CIA mulai melihat betapa praktisnya jika menggunakan robot
udara untuk mengumpulkan intelijen dan menyerang sasaran dengan resiko
dan biaya lebih kecil.
Para pakar percaya bahwa perang modern masa depan akan menggunakan
sistem senjata otonom. Militer AS berinvestasi besar-besaran dalam
penelitian dan pengembangan sistem senjata otonom seperti wahana udara
tak berawak IAI Pioneer & MQ - 1 Predator yang dapat dipersenjatai dengan rudal dan dioperasikan dari pusat komando jarak jauh untuk pengintaian dan penyekatan sasaran.
DARPA telah menyelenggarakan kompetisi di tahun 2004 & 2005
yangmelibatkan perusahaan swasta dan universitas untuk mengembangkan
kendaraan darat tak berawak untuk bernavigasi melalui medan kasar di
Gurun Mojave dengan beberapa simulasi tugas untuk hadiah 2 juta dolar .
Bidang artileri juga telah melihat beberapa penelitian yang menjanjikan dengan sistem senjata eksperimental bernama Dragon Fire II yang secara otomatis mampu mengisi peluru (loading) dan menghitung balistik untuk menembak secara akurat.
Pengembangan jet tempur dan pengebom otonom untuk menghancurkan
target sangat menjanjikan karena tidak memerlukan pelatihan untuk pilot
robot dan pesawat otonom mampu melakukan manuver yang tidak dapat
dilakukan pilot manusia, desain pesawat tidak memerlukan sistem
pendukung kehidupan, dan hilangnya pesawat tidak berarti hilangnya pilot
manusia.
Bahkan system robotika modern mampu membuat wahana tanpa awak dalam
ukuran dan kemampuan sehinga mampu meniru burung kecil, serangga, ikan
atau binatang kecil yang dapat masuk celah-celah atau lubang dan masuk
diantara kabel listrik untuk fungsi pengintaian hingga penyerangan,
dengan senjata peledak atau senjata kimia dan biologi.
Namun, semua senjata otonom peperangan masih memiliki keterbatasan
karena masih memerlukan intervensi manusia untuk memastikan masih
sesuai Konvensi Jenewa untuk hukum perang . Pertanyaan yang timbul
adalah, dapatkah keputusan atas kematian dan kehidupan diserahkan kepada
mesin? Dapatkah Sistem Senjata Otonom berfungsi dalam cara yang benar
dan “etis”? Apakah mesin mampu bertindak sesuai dengan hukum
kemanusiaan atau hak asasi manusia internasional ?
Mengingat sebagian besar konflik bersenjata saat ini adalah konflik
tanpa batas yang jelas antara berbagai kelompok bersenjata dan warga
sipil, patut dipertanyakan bagaimana robot dapat secara efektif
diprogram untuk menghindari korban sipil ketika manusia sendiri masih
menghadapi kesulitan untuk mengatasi dilema ini .
Serangan militer tidak bisa dilakukan bila berisiko menyebabkan
kerusakan sipil dengan proporsional tinggi. Jelas diragukan bahwa
teknologi berpikir sistem robot perang saat ini mampu membuat keputusan
tersebut .
Kelemahan terbesar sistem robotika perang adalah ketidakmampuan
wahana robotika untuk mengakomodasi kondisi non-standar yang memerlukan
intuisi dan perasaan manusia tentang yang baik dan jelek, yang salah dan
benar, yang tepat dan tidak tepat. (Kol. Pnb. Agung "Sharky" Sasongkojati)