Jumat, 15 November 2013

7 Generasi Jet Latih TNI AU


Datangnya pesawat jet latih T-50 Golden Eagle mengisi jajaran alutsista TNI AU memberikan harapan baru dalam upaya pembangunan kekuatan dirgantara nasional. Pesawat Lead in Fighter Trainer (LIFT) generasi terbaru ini diharapkan menjadi jenjang untuk meningkatkan kapabilitas para penerbang tempur TNI AU di masa sekarang dan mendatang. T-50 merupakan jenis jet latih ketujuh yang dioperasikan TNI AU setelah de Haviland Vampire, MiG-15 UTI, L-29 Dolphin, T-33A T-Bird, Hawk Mk.53, dan Hawk 109. Berikut selayang pandang tujuh jet latih TNI AU dan perjalanan panjang penantian T-50. Disiapkan oleh Roni Sontani dilengkapi tulisan Rangga Baswara dan Setiyo Nugroho.

            HUT TNI ke-68 pada 5 Oktober tahun ini ditandai kado istimewa dengan telah berdatangannya beberapa alutsista baru melengkapi kekuatan TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Upaya pemerintah menggelontorkan anggaran untuk memperkuat alutsista yang dibutuhkan ketiga matra TNI ini patut diberi acungan jempol dan dukungan. Bagaimana pun Tentara Nasional Indonesia membutuhkan alutsista-alutsista yang sesuai dengan perkembangan zaman, selain pengembangan sumber daya manusia yang harus terus ditingkatkan.

            Khusus TNI AU, datangnya pesawat EMB-314 Super Tucano yang menggantikan OV-10F Bronco di Skadron Udara 21, lalu CN295 yang menggantikan Fokker 27 di Skadron Udara 2, pesawat Latih Dasar Grob G 120TP-A yang akan menggantikan pesawat AS-202 Bravo dan T-34C Turbo Mentor di Skadron Pendidikan 101, merupakan bagian dari pesawat-pesawat baru yang dibeli Indonesia dan telah datang secara bertahap.

Selain itu penambahan pesawat tempur Su-27SKM dan Su-30MK2 sehingga Skadron Udara 11 genap memiliki 16 unit Su-27/30 berikut persenjataan lengkapnya, menjadikan Skadron Udara 11 makin bergigi dan diperhitungkan negara-negara tetangga. Sementara rencana penambahan sembilan pesawat C-130H Hercules bekas pakai AU Australia untuk persiapan Skadron Udara 33 di Makassar diharapkan makin menambah kekuatan unsur pesawat angkut di wilayah Timur dan memenuhi kebutuhan dukungan pergerakan pesawat tempur, personel, maupun logistik latihan, masih ditunggu proses realisasinya. Demikian juga dengan pembelian helikopter Cougar yang akan dibuat oleh PT Dirgantara Indonesia akan meningkatkan kekuatan skadron sayap putar.

Sedangkan pembelian 24 F-16C Block 32+ yang dijadwalkan mulai mengisi Skadron Udara 16 di Pekanbaru tahun depan, akan melengkapi kekuatan tempur di wilayah Barat dan Tengah yang saat ini ditopang oleh dua skadron pesawat Hawk 109/209, yakni Skadron Udara 12 di Pekanbaru dan Skadron Udara 1 di Pontianak. Di wilayah Barat, TNI AU juga sedang mempersiapkan skadron intai baru yang akan diisi oleh pesawat CN235-200 MPA buatan PT Dirgantara Indonesia.

Dalam rencana ke depan, TNI AU juga akan mengganti pesawat F-5 Tiger II Skadron Udara 14. Beberapa pesawat sedang dalam tahap penjajakan pengkajian sehingga diharapkan nantinya didapatkan pesawat pengganti yang sesuai dan kapabilitasnya tinggi. Sementara pesawat tempur IFX yang dikerjasamakan produksinya dengan Korea Selatan, masih menunggu kelanjutan prosesnya terkait kebijakan pemerintahan baru di negeri itu.
Elang Emas.

Tanggal 11 September lalu, dua unit Elang Emas T-50i tiba di Lanud Iswahjudi, Magetan, Jawa Timur setelah melakukan penerbangan feri dari pabriknya, Korean Aviation Industries (KAI), di Sacheon, Gyeongsang, Korea Selatan. Penerbangan melalui Kaohsiung (Taiwan), Cebu (Filipina), serta Balikpapan, Kalimantan Selatan. Sebelum mendarat di sarangnya kedua pesawat yang diterbangkan oleh empat pilot uji KAI, Kwon Huiman, Lee Dong-kyo, Kang Cheol, dan Shin Donghak itu disambut oleh dua Hawk Mk.53 dengan callsign Hawk Flight di East Area Iswahjudi Aerodrome yang diterbangkan oleh Komandan Skadron Udara 15 Letkol Pnb Wastum beserta Mayor Pnb Hendra dan Kapten Pnb Gultom beserta Lettu Pnb Yudistira.

Setelah mendapat pengawalan dan penyambutan kehormatan, kedua Elang Emas join up dengan “saudara tua”-nya membentuk formasi kotak dipimpin flight leader Komandan Skadron Udara 15. Di bawah, Pangkoopsau II Marsda TNI Agus Supriatna, Danlanud Iswahjudi Marsma TNI Yuyu Sutisna, Vice Presiden KAI Kim Kyuhak, dan segenap pejabat TNI/Polri serta Muspida se-Karesidenan Madiun telah menunggu. Suasana riuh terdengar manakala pesawat bercat biru kuning T-50 dan abu-abu Hawk Mk.53 tampak dalam pandangan mata, melakukan flypass dua kali di atas hanggar Skadron Udara 15 dari arah yang berbeda.

Indonesia menjadi pengguna pertama T-50 di luar Korea Selatan. Pesawat yang tampilannya mirip dengan F-16 Fighting Falcon ini dikembangkan bersama oleh KAI dan Lockheed Martin, AS pembuat F-16. Indonesia membeli 16 unit T-50i dimana delapan unit diberi cat aerobatic painting dan delapan lainnya diberi cat camouflage painting.


Jalan Panjang Menyongsong T-50

Perjalanan panjang menentukan pengganti Hawk Mk.53 menjelang masa pensiunnya, bagi TNI AU merupakan masa yang sangat melelahkan. Terlebih karena kesiapan pesawat Hawk Mk.53 pun sudah semakin menurun. Dari delapan unit yang ada, tersisa sekitar dua unit saja yang laik terbang. Padahal, di pundak Skadron Udara 15 terletak beban untuk mencetak para pilot pesawat tempur TNI AU. Dampak dari embargo suku cadang oleh Inggris dan juga utilisasi pesawat yang sangat tinggi merupakan salah satu faktor penyebabnya.

Embargo yang diberlakukan Amerika Serikat kepada Indonesia dengan alasan kejahatan kemanusiaan di Timor Timur paska referendum tahun 1999, tak terkecuali Inggris sebagai sekutu utama AS dan sebagai produsen pesawat Hawk Mk-53 dan Hawk 109/200, memiliki andil utama dalam turunnya kesiapan alutsista TNI AU. Bagi TNI AU dampak yang dirasakan langsung adalah embargo terhadap suku cadang seluruh pesawat tempur buatan BAe Inggris ini.

Sementara di sisi lain pesawat Hawk Mk-53 sebagai pesawat advanced jet trainer bagi para calon penerbang tempur TNI AU tetap dituntut kesiapannya agar terus mampu mencetak penerbang-penerbang tempur handal, meskipun dengan jumlah pesawat yang minim. Selain itu diharapkan regenerasi para penerbang tempur tetap dapat berjalan dengan baik. Tuntutan profesionalisme dengan modal dan sarana pendukung yang serba terbatas pada waktu itu merupakan masa-masa sulit bagi TNI AU.

Di masa-masa sulit tersebut, tak terelakan sejumlah incident ataupun accident juga mendera TNI AU. Seolah-olah menunjukan bahwa sehebat apapun pesawat yang kita miliki tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya perawatan dan ketersediaan suku cadang yang memadai. Pasca embargo tahun 1999 insiden diawali dengan jatuhnya pesawat Hawk Mk-53 pada 28 Maret 2000 di Lanud Iswahjudi, Madiun. Menyusul pada Juli 2000 pesawat A-4 Skyhawk jatuh saat melaksanakan patrol rutin di Sulawesi Selatan, kemudian pada 21 November 2000 kecelakaan kembali terjadi dan menimpa pesawat Hawk yang jatuh di Pontianak.

Tanggal 28 Maret 2002 cobaan dan pukulan berat kembali dialami TNI AU khusunya Skadron Udara 15 ketika dua Hawk Mk.53 yang sedang melakukan sesi latihan aerobatik bersenggolan di udara dan jatuh di kawasan Lanud Iswahjudi. Merupakan kehilangan besar bagi Skadron Udara 15, terlebih kehilangan penerbang-penerbang terbaiknya yang tidak terukur nilainya. Acara Open Day dibatalkan dan demi menghormati para penerbang yang gugur. Bendera  setengah tiang dikibarkan.

Peristiwa demi peristiwa getir dirasakan Skadron Udara 15 dan TNI AU, meski demikian semangat tentu tidak boleh patah. Perbaikan dan pembenahan terus dilakukan, bahkan wacana penggantian pesawat Hawk Mk.53 terus bergulir dengan dilakukannya kajian-kajian terhadap calon pesawat penggantinya.

Angin segar
Tekad TNI AU untuk memensiunkan Hawk Mk.53 dan diganti dengan pesawat baru sudah bulat. Hal tersebut tertuang dalam rencana strategis (Renstra) 2005-2009 Mabes TNI AU yang berencana melakukan penggantian sejumlah alutsistanya seperti OV-10 Bronco, F-5 Tiger, Fokker-27, helikopter Sikorsky dan tentunya Hawk Mk-53. Angin segar berhembus ketika KSAU Marsekal Herman Prayitno saat itu, bertemu langsung dengan Dubes Ceko untuk Indonesia Pevel Rezac di Mabes TNI AU Cilangkap Jakarta awal November 2007. Hal tersebut terkait dengan pihak TNI AU yang mengajukan pengadaan pesawat tempur latih Aero L-159 ALCA buatan Republik Ceko sebagai calon pengganti Hawk Mk.53. Secara umum kunjungan Rezac bertujuan untuk menindaklanjuti kesepakatan kerjasama pertahanan antara RI dan Republik Ceko yang telah ditandatangani tahun 2006. Selain itu dibahas pula kemungkinan pembelian Aero L-159 ALCA oleh TNI AU.

 

Dari Vampire hingga Golden Eagle
Sejak AURI membentuk
De Havilland DH-115 Vampire
Dalam rentang 67 tahun sejak terbentuk, TNI AU telah mengoperasikan tujuh generasi pesawat jet latih. Generasi pertama jet latih TNI AU dimulai dengan hadirnya pesawat de Havilland DH-115 Vampire buatan Inggris tahun 1955. Sebanyak empat unit pesawat ini tiba di Pelabuhan Tanjung Priok pada 3 Desember 1955 dalam keadaan terurai dan kemudian dirakit di Lanud Andir (Husein Sastranegara) yang disiapkan menjadi home base-nya.

Sebelum pesawat tiba, TNI AU (saat itu sebutannya AURI) telah mengirimkan dua penerbangnya yakni Letnan Udara  (LU) I Leo Watimena dan Kapten Udara Roesmin Nurjadin ke Royal Air Force (AU Inggris) di Little Risington dan South Corney. Keduanya menjalani pendidikan terbang dan instruktur selama beberapa bulan di sana. TNI AU juga mengirimkan beberapa teknisi yang akan menangani pesawat pancar gas ini. Mereka adalah LU II Sarjono, LU II Kamarudin, dan Letnan Muda Udara (LMU) I Sutedjo. Para teknini ini pula yang kemudian setelah mengikuti pendidikan di Inggris merakit Vampire di Lanud Husein Sastranegara dibantu oleh dua orang teknisi dari Inggris. Pada tanggal 10 Januari 1956, empat unit pesawat Vampire datang lagi sehingga jumlahnya menjadi delapan unit.

Hadirnya pesawat-pesawat pancar gas dalam kekuatan TNI AU sekaligus menandai peningkatan alutsista udara AURI kala itu. Pesawat beregistrasi J-701 hingga J-708 ini semula dimasukkan ke dalam Kesatuan Pancar Gas (KPG) yang diresmikan langsung oleh KSAU Laksamana Muda Udara Suryadi Suryadarma tanggal 20 Februari 1956. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan KSAU: Skep/56/III/1957 pada tanggal 20 Maret 1957. KPG selanjutnya diubah menjadi Skadron XI dengan sebutan Skadron Jet Pelatih Tempur yang peresmiannya dilaksanakan tanggal 1 Juni 1957. LU I Leo Wattimena ditunjuk sebagai komandan skadron pertamanya.

Vampire TNI AU adalah versi T.55 atau varian ekspor dari T.11 yang digunakan AU Inggris dengan tempat duduk side by side. Pesawat ini tak bersenjata dan murni digunakan sebagai pesawat latih lanjut untuk mencetak calon penerbang tempur. Vampire hanya bertahan selama tujuh tahun saja. Namun kehadirannya merupakan suatu lompatan hebat bagi TNI AU, karena di kala itu masih segelintir negara yang mengoperasikan pesawat jet latih. Kedelapan pesawat DH-115 ini akhirnya dijual ke India tahun 1963 akibat kekurangan suku cadang, dimana saat itu hubungan Indonesia dan Inggris mulai renggang akibat konflik serumpun antara Indonesia dan Malaysia.
Buku “Sejarah Angkatan Udara Indonesia 1950-1959” yang dikeluarkan Dispenau tahun 2005 menyebut, jumlah pesawat Vampire yang dimiliki TNI AU adalah 16 unit. Karena setelah pembelian delapan unit, AURI kemudian menambah lagi delapan unit Vampire sehingga total menjadi 16.
Spesifikasi DH-115 Vampire:
  • Awak                                     : 2 orang
  • Panjang                                             : 10,5 m
  • Rentang sayap                  : 11,5 m
  • Tinggi                                    : 2 m
  • Berat Kosong                     : 3.304 kg
  • MToW                                  : 5.620 kg
  • Mesin                                   : Goblin 35 centrifugal turbojet, 14.90 kN
  • Kecepatan Maks.             : 882 km/jam
  • Jarak Jangkau                    : 1.960 km
  • Ketinggian Terbang         : 13.045 m

Aero CS-102 UTI
Skadron Udara 11 kedatangan anggota baru sebanyak 20 pesawat latih jet CS-102 yang tiba di Kemayoran dari Cekoslovakia tanggal 14 Agustus 1958. Seperti halnya DH-115 Vampire, pesawat ini juga memperoleh registrasi dengan kombinasi huruf dan angka awal J-7 (J-751 hingga J-770). Pesawat latih dengan bentuk mungil buntet ini dibuat lisensi oleh pabrik pesawat Aero Vodochody berdasar MiG-15 UTI yang mulai diproduksi tahun 1954. Sebelum kedatangan jet latih ini kadet penerbang dikirim terlebih dahulu ke Ceko dalam tiga gelombang angkatan dengan sebutan Cakra I, II, dan III.

Pesawat yang mendapat julukan Midget oleh NATO ini dikembangkan tahun 1949 berdasar penempur MiG-15 Fagot yang terkenal memiliki manuver tempur yang hebat yang sempat berjaya dalam Perang Korea tahun 1950-1953. Pesawat Blok Timur ini sanggup mempecundangi pesawat-pesawat tempur jet buatan AS kala itu seperti F-80 Shooting Star, F-84 Thunderjet, dan F-86 Sabre. Versi MiG-15 UTI menjadi andalan negara-negara Blok Timur untuk mencetak pilot tempurnya. Selain Ceko, jet latih ini diproduksi oleh pabrik Shenyang dari China dengan kode JJ-2. Lisensi produksi juga didapatkan oleh Polandia dengan nama SB Lim-1.

Bagi Indonesia, pembelian jet latih CS-102 jadi pilihan tepat karena digunakan untuk mencetak pilot yang akan menerbangkan keluarga penempur MiG-17, MiG-19, dan MiG-21. Dengan ini konversi kadet penempur lebih cepat karena semua pesawat dikembangkan oleh satu biro desain. Pasca-pemberontakan G30S pasokan suku cadang pesawat terhenti akibat dari putusnya hubungan diplomatik dengan negara-negara Blok Timur. MiG-15 UTI versi Ceko ini akhirnya dilikuidasi awal tahun 70-an bersamaan dengan adiknya MiG-17 dan MiG-21. Sementara seluruh MiG-19 dijual ke Pakistan.

Angkasa.

Ketika Pasukan Gerilya Pak Dirman Disergap P-51 Mustang


Pada bulan Desember 1948 militer Belanda yang masih bercokol  di Indonesia khususnya di Pulau Jawa melancarkan agresi militer kedua bersandi Operation Kraai. Serbuan militer yang dirancang oleh Kepala Staf Angkatan Darat Belanda yang berkuasa di Indonesia, Jenderal Simon Spoor, itu langsung menggegerkan rakyat Indonesia yang baru tiga tahun memproklamirkan kemerdekaan.
Agresi militer Belanda kedua  yang disebut sebagai Aksi Polisional (Politionele Acties)  yang dilancarkan pada 19 Desember 1948 itu diklaim militer Belanda sebagai upaya melumpuhkan aksi kekerasan yang terus berlangsung sejak Perjanjian Linggarjati di Istana Merdeka, Jakarta  pada 15 Desember  1946 disusul kesepakatan damai melalui  Perjanjian Renville. Salah satu poin Perjanjian Linggarjati adalah Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia  yang meliputi Pulau Jawa, Sumatra, dan Madura.
Karena pada prinsipnya semangat Pemerintah Kerajaan Belanda adalah menguasai kembali seluruh wilayah Indonesia yang pernah dijajahnya, Operation  Kraai pun memiliki semangat serupa. Operation Kraai  yang dilaksanakan di Jawa dan Sumatra  itu bertujuan melumpuhkan kekuatan militer Indonesia dan sekaligus menawan para pemimpin RI, Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta, dan Perdana Menteri Sutan Syahrir. Ketiga petinggi itu berkantor di Yogyakarta yang telah dijadikan ibukota RI sejak 4 Januari 1946.
Sebagai ibukota negara dan markas Tentara Kemanan Rakyat (TKR) yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman, Yogyakarta menjadi sasaran utama Operation Kraai. Agresi militer Belanda II di Yogyakarta  berdasar pada operasi intelijen yang cermat sehingga dalam operasi yang bersifat dadakan (blitzkrieg) itu sasaran musuh akan bisa dikuasai dalam tempo kilat dengan korban di pihak penyerang seminimal mungkin. Pasukan Belanda yang bertugas menyerbu Yogyakarta dipusatkan di Pangkalan Udara Andir, Bandung dan dipimpin oleh Jenderal Meyer. Kekuatan pasukan terdiri dari 800-900 pasukan Para Komando dan didukung oleh 23 pesawat transpor Douglas DC, sejumlah pesawat pembom B-25 Mitchell, pesawat tempur P-51 Mustang, dan P-40 Kittyhawk.
Serbuan udara terhadap Kota Yogyakarta dimulai pada waktu pagi hari tepat pukul 05.45 terhadap Lapangan Udara Maguwo yang minim pertahanan. Saat itu Badan Keamanan Rakyat (BKR) Udara baru terbentuk pada 5 Oktober 1945 dan dipimpin Komodor Udara Suryadarma. Kondisi BKR Udara saat itu masih minim  sumber daya manusia serta peralatan terbang. Namun demikian di Lanud Maguwo telah berdiri Sekolah Penerbang yang berdiri sejak 1 Desember 1945 menggunakan pesawat-pesawat bekas Jepang yang sudah dimodifikasi. 
Ketika berlangsung serbuan udara yang dilancarkan oleh pesawat-pesawat tempur  Militaire Luchtvaart (ML)-KNIL, di pangkalan terdapat  tiga pesawat Zero bekas Jepang dan sekitar 37 kadet (siswa penerbang) serta sekitar 150 pasukan pertahanan pangkalan yang dalam kondisi tidak siap tempur. Hanya ada beberapa senapan dan satu senapan antiserangan udara kaliber 12.7 mm.
Semua pesawat MI-KNIL  terbang dari Lanud Andir. Dan agar penerbangan puluhan pesawat itu berlangsung rahasia, semua pesawat terbang di atas Lautan Samudra Hindia dan begitu berada di atas Pantai Selatan, Yogyakarta mereka langsung melesat ke utara  menuju Maguwo. Dalam hitungan detik pesawat-pesawat Mustang dan Kitty Hawk  langsung menghujani pangkalan udara dengan bom serta tembakan senapan mesin. Serangan udara militer Belanda itu sengaja menghindari kerusakan pada landasan agar bisa digunakan mendaratkan pesawa-pesawat  transpor.
Sejumlah “pasukan Para” berupa boneka tiruan juga diterjunkan untuk mendeteksi asal tembakan yang dilepaskan pasukan BKR Udara di darat sehingga pesawat-pesawat tempur bisa menyapunya menggunakan senapan mesin. Serbuan udara yang berlangsung sekitar 25 menit segera melumpuhkan pertahanan yang berada di Lanud Maguwo. Pada pukul 06: 45 pasukan Para Komando mulai diterjunkan dalam dua gelombang dan untuk selanjutnya mengoperasikan Lanud Maguwo sebagai pusat pangkalan aju untuk menguasai Yogyakarta dan sekitarnya. Setidaknya 128 pasukan RI gugur dalam opersai serbuan kilat itu sedangkan dari pihak Belanda belum ada satu personel pasukan pun yang gugur.
Perang gerilya
Operasi serbuan udara dilanjutkan serbuan darat oleh pasukan Belanda itu segera diketahui oleh Panglima Besar Sudirman (Pak Dirman) yang sedang berada di markasnya, Jalan Bintaran, Yogyakarta, sebelah selatan Keraton Yogyakarta. Pada saat itu Pak Dirman sedang dalam kondisi sakit setelah menjalani operasi paru-parunya akibat terserang penyakit TBC. Tindakan operasi itu memutuskan untuk tidak mengaktifkan salah satu paru-paru sehingga Sudirman hanya bisa menggunakan salah satu paru-parunya dan masih dalam kondisi sangat lemah.
Menanggapi serangan Belanda itu, Pak Dirman kemudian mengeluarkan Perintah Siasat agar semua pasukan BKR tetap melakukan perlawanan melalui perang gerilya. Sudirman juga sempat menghubungi presiden, wapres, dan para stafnya untuk segera meninggalkan Yogyakarta, tapi himbauan Pak Dirman itu ternyata ditolak. Presiden Sukarno dan para staf seperti sejumlah menteri memilih bertahan di kota dan akhirnya ditawan oleh militer Belanda untuk selanjutnya diasingkan di Sumatra serta Bangka.
Salah seorang anggota staf penting di lingkungan Sekretariat Markas Panglima Besar yang juga pengawal pribadi Pak Dirman, Kapten  Tjokropranolo yang lebih akrab dipanggil Pak Nolly, segera mengontak Penasehat Politik Panglima Besar, Harsono Tjokroaminoto, yang juga mantan Menteri Muda Pertahanan semasa Kabinet Sjahrir III (1946-1947) untuk segera menghadap. Kebetulan Harsono waktu itu juga sedang terserang penyakit desentri dan selama seminggu hanya bisa terkapar di tempat tidur. Isteri Harsono yang menerima telepon dari Nolly kemudian menjawab bahwa suaminya belum bisa bangkit.
Tapi karena kondisi sedang genting Nolly tetap mengharuskan Harsono hadir di markas dan akan dijemput oleh sopir menggunakan mobil Panglima Besar. Harsono tak bisa menolak ketika mobil yang menjemputnya tiba. Dengan susah payah ia pun berangkat. Rute perjalanan yang ditempuh mulai dari Jalan Taman Yuwono - Jalan Malioboro - Istana Presiden – lalu belok kiri melintasi Kantor Pos-Pakualaman - dan Jalan Bintaran. Selama perjalanan menuju Bintaran bom-bom yang dijatuhkan dari pesawat tempur Belanda terutama di sisi timur kota di seputar kawasan Maguwo ledakannya terasa makin mendekat.
Tujuan bombardemen Belanda itu selain mencari sasaran yang bernilai militer juga bertujuan meruntuhkan moril tempur pasukan Indonesia agar tidak bisa memberikan perlawanan. Tapi karena Bintaran lokasinya masih dekat keraton dan militer Kerajaan Belanda masih sangit menghormati Keraton Yogyakarta sebagai wilayah netral, tak ada stu bom pun yang jatuh di seputar kawasan keraton. Ketika tiba di kediaman Pak Dirman, Harsono langsung menuju kamar tidur Pak Dirman yang waktu itu ditunggui oleh Nolly.
Dalam kondisi fisik yang lemah  Pak Dirman menceritakan semua peristiwa yang baru saja terjadi di Yogya dan sebagai panglima besar yang juga menjadi incaran militer Belanda, ia memutuskan meninggalkan Kota Yogyakarta. Tujuan utama perjalanan Pak Dirman dan rombongannya adalah daerah Gunung Kidul, kawasan berbukit-bukit yang sangat efektif untuk bersembunyi sekaligus melancarkan perang gerilya. Namun untuk meninggalkan Yogyakarta yang mulai dikepung pasukan Belanda dan bombardemen yang terus berlanjut tidak mudah. Sebagai penasehat, Harsono lalu menyarankan agar rombongan Pak Dirman mencari tempat persinggahan di luar benteng Keraton Yogyakarta yang dikenal sebagai Mangkubumen.
Berdasarkan kesepakatan, rombongan Pak Dirman yang terdiri dari dokter pribadinya, Dr Suwondo, Tjokropranolo, ajudan Supardjo Rustam, dan Harsono lalu berangkat ke Mangkubumen yang saat itu ditinggali ibu-ibu dari Keraton. Sebagai bangunan milik Sultan Yogyakarta, Mangkubumen masih merupakan properti yang tidak diganggu oleh militer Belanda sehingga persinggahan rombongan Pak Dirman dijamin aman. 
Untuk menghindari patroli militer Belanda  yang saat itu sudah berada di daerah Kauman dan hanya berjarak beberapa ratus meter dari Mangkubumen, rombongan Pak Dirman yang menggunakan sejumlah jip sengaja berangkat sore hari. Mobil jeep Pak Dirman yang dikemudikan sopir pribadinya, Ateng, ditumpangi  Supardjo Rustam yang duduk di sebelah kanan pengemudi. Sedangkan Pak Dirman duduk di tengah diapit Dr Suwondo di sebelah kanan dan Harsono di sebelah kiri. Sedangkan Tjokropranolo yang bertugas sebagai penunjuk jalan duduk di atas spakbor.
Bagi Tjokropranolo kawasan selatan Yogya bukan merupakan daerah asing karena sewaktu masih bersekolah di Yogya, ia sering bermain di Bantul apalagi pamannya pernah menjabat sebagai Bupati Bantul. Semula Tjkropranolo berniat membawa Pak Dirman ke Pantai Parangtritis (Bantul) dan bersembunnyi di goa, tapi karena Pak Dirman sedang sakit rencana itu dibatalkan dan kemudian diputuskan untuk bersembunyi di kawasan Gunung Kidul. 

Kisah Wing Garuda dalam Operasi Trikora: Baku Tembak Hingga Pendaratan Darurat


Para pilot Wing Garuda yang terlibat dalam misi tempur untuk membebaskan Irian Barat dalam Operasi Trikora memiliki risiko sama seperti para pilot pesawat militer lainnya. Dalam kondisi genting mereka bahkan harus siap baku tembak saat berada di darat.

Ketika pemerintah RI mencanangkan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora)  untuk membebaskan Irian Barat dari kolonialisme Belanda (1962), para awak dari maskapai penerbangan Garuda juga dilibatkan. Komando Tertinggi (KOTI) Trikora membentuk Wing Garuda (WG) dan Wing Garuda 011 (WG 011) yang merupakan kekuatan bala cadangan udara untuk mendukung kekuatan AURI. Tugas utama yang dibebankan kepada WG dan WG 011 adalah melaksanakan penerbangan penyusupan, penerjunan sukarelawan dan pasukan tempur, angkutan logistik, komando Kendali udara, pelacak cuaca, angkut personel, serta SAR.

Untuk melaksanakan sejumlah misi yang cukup riskan itu, WG dan WG 011 menggunakan pesawat-pesawat transpor seperti DC-3 Dakota, C-47 Skytrain, dan ConvairB-36. Dalam setiap penerbangannya para pilot WG dan WG 011 akan menghadapi risiko dihadang oleh pesawat-pesawat tempur Belanda yang saai itu tergolong canggih, yakni MK-06 Hawker Hunter, AS-4 Firefly, P2V-7 Neptune, dan  B-26 Invader.  Selain sergapan pesawat tempur penerbangan rahasia WG dan WG 011 juga kerap menghadapi cuaca buruk serta radar musuh sehingga harus terbang pada ketinggian rendah (tree top) di atas kawasan hutan lebat atau perairan yang ganas siang maupun malam hari. Setelah Irian Barat diserahkan ke pangkuan RI melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA)  pada 1 Oktober 1962, tugas yang harus dilaksanakan WG dan WG 011 untuk membereskan Irian Barat tetap berlangsung.

Salah satu misi  yang berpotensi menimbulkan konflik bersenjata adalah ketika personel WG dan WG 001 ditugaskan Panglima Tertinggi (Presiden) untuk mengambil alih perusahaan penerbangan Belanda, De Kroonduif  NV yang berada di Irian Barat. Tim dari WG kemudian membentuk satu kontingen yang kurang lebih terdiri dari 40 orang yang memiliki kemampuan mengelola perusahaan penerbangan, penerbang, dan teknisi. Sebagai pimpinan kontingen ditunjuk pilot senior Captain M Syafei, yang diberi wewenang penuh untuk mengelola perusahaan penerbangan yang diambil alih beserta fasilitas pendukungnya seperti hanggar, gudang suku cadang, fasilitas pemeliharaan, hotel, dan lainnya. Captain Syafei  sendiri  saat ini masih hidup sehat dan berumur 83 tahun serta masih aktif mengikuti dunia penerbangan Tanah Air dan sebagai pengajar di Jurusan Teknik Penerbangan, Universitas Trisakti, Jakarta.  

Kontingen yang juga dibekali kemampuan bertempur itu dilantik oleh Presiden Sukarno pada 13 Desember 1962 melalui upacara sederhana dan singkat. Perasaan bahwa misi ke Irian Barat itu merupakan misi tempur sekali jalan (one way ticket) sangat terasa ketika Bung Karno memberi perintah yang intinya berbunyi, ‘’Kibarkanlah bendera-bendera ini (Merah Putih, bendera pasukan PBB, dan bendera Garuda) pada saat ayam berkokok tanggal 1 Januari 1963’’. Para pilot kontingen yang berjumlah 14 orang tidak hanya berdebar-berdebar karena adanya perintah bertempur itu, tapi juga was-was karena harus terbang di atas wilayah Irian Barat yang belum dikenal dan di bawahnya terhampar hutan belantara yang belum banyak disentuh manusia.

Untuk menghadapi kemungkinan terburuk setiap personel kontingen dibekali pistol. Agar tidak mencolok pistol ditaruh dalam koper dan ditempatkan secara tersembunyi. Untuk penggunaan persenjataan dan kemampuan tempur para personel Wing Garuda telah mendapat latihan militer dari TNI AU dan diselengarakan selama dua minggu di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Kontingen WG diberangkatkan ke Biak dari Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta pada 18 Desember 1962 pukul 03.00 dini hari menggunakan pesawat Lockheed L-188 Electra. Penerbangan berjalan lancar dan kontingen pun tiba di Lapangan Terbang Mokmer, Biak dengan selamat. Kontingen kemudian menuju ke gedung perkantoran De Kroonduif  NV dan di luar dugaan disambut hangat oleh staf pimpinan perusahaan, Albert Janssen. Sebagai pimpinan rombongan Captain Syafei sangat salut terhadap para staf dan pekerja Belanda yang sangat kooperatif dan mematuhi keputusan undang-undang (tentang penyerahan Irian Barat yang disahkan oleh PBB) yang sedang berlaku. ‘’Mereka sama sekali tidak menunjukkan permusuhan. Secara politik Indonesia-Belanda memang bermusuhan tapi dalam hal profesi mereka benar-benar bertanggung-jawab dan kooperatif,’’ papar Syafei.  

Tugas non penerbangan
Suasana di hari pertama yang menyejukkan itu tiba-tiba berubah drastis karena salah satu anggota kontingen, Gunadi, yang sedang mengendarai mobil secara tak sengaja telah menabark seorang penduduk Irian Barat sehingga mengalami luka cukup serius. Rupanya jalan di Irian Barat yang belum dikenal dan sikap penduduk Irian Barat yang masih sembrono menjadi penyebab kecelakaan fatal itu.

Insiden kecelakaan itu jelas menjadi potensi dari penduduk lokal untuk melancarkan aksi kekerasan. Tapi Janssen yang notabene berada di pihak ‘’musuh’’ ternyata bersikap kooperatif. Dengan pendekatan secara kekeluargaan insiden kecelakaan itu dapat diselesaikan tanpa menimbulkan konflik kekerasan. Pihak De Kroonduif rupanya sangat patuh hukum dan bersedia menyerahkan sejumlah pesawat dan fasiltasnya. Pesawat  dan fasilitas yang diserahkan ke kontingen antara lain dua Dakota, tiga Twin Pioneer, tiga Beaver berikut terminal laut yang berada di tepi pantai Mokmer, fasilitas pemeliharaan, gudang suku cadang, dan lainnya. Berdasar pengalaman kontingen, manajemen dan organisasi  segera disusun dengan nama perusahaan Garuda Irian Barat. Para personel Kontingen harus bekerja super cepat, hanya ada waktu satu minggu karena para personel Belanda dari Kroonduif akan segera pulang ke negaranya untuk merayakan Tahun Baru dan Natal.

Tugas yang paling membingungkan bagi Kontingen adalah ketika mengurus Hotel Rift karena sama sekali tidak memiliki pengalaman. Dengan prinsip pantang mundur Kontingen akhirnya bekerja dengan cara meniru pekerjaan rutin seperti yang dilakukan oleh karyawan Belanda sebelumnya. Pekerjaan yang sangat mendebarkan adalah ketika harus melakukan pengecatan pesawat Twin Pioneer sampai jauh malam menjelang akhir tahun. Untuk melaksanakan pengecatan pesawat yang dibutuhkan kemampuan khusus dilakukan Captain Syafei dibantu satu orang yang diutus oleh Departemen Perhubungan, Agil.

Cat warna Merah Putih Biru di lambung pesawat yang melambangkan bendera Belanda harus dihapus diganti warna Merah Putih dan regristasi PK. Menjelang malam Tahun Baru pun semua pekerjaan telah selesai. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan pada acara pengibaran bendera  yang dialkukan keesokan harinya, semua personel Kontingen menyiagakan diri dengan senapan serbu dan pistolnya. Keadaan menjelang malam memang makin menegang karena di sejumlah kawasan di Kota Biak terjadi tembak-menembak. Tapi  aksi tembak-menembak sporadis itu ternyata tidak meluas ke Mokmer. 

Operasi Menumpas PRRI: Dihadang Mitraliur di Atas Gunung Padang


Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 pada tahun-tahun selanjutnya masih menemui banyak tantangan yang harus diselesaikan melalui pertikaian bersenjata. Korban jiwa dan materi yang tak bisa dicegah pun berjatuhan.

Setelah  lebih dari sepuluh tahun RI  merdeka, sejumlah daerah merasa tidak puas bahkan dengan terang-terangan berupaya memisahkan diri, sehingga pemerintah pusat di Jakarta terpaksa harus menyelesaikannya secara militer. Salah satu upaya pemisahan diri dengan cara membentuk negara baru dan menyatakan berpisah dari pangkuan RI adalah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)  pimpinan Mr Sjafrudin Prawiranegara yang dibentuk pada 15 Februari 1958 di Sumatera.

Upaya pemisahan diri dari PRRI itu jelas menjadi ancaman serius bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan harus segera diambil tindakan tegas. Tapi tindakan tegas yang harus diambil oleh pemerintah RI khususnya Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) harus benar-benar terencana secara matang.  Pasalnya  PRRI juga didukung oleh sejumlah  unsur militer di Sumatera yang semula anggota APRI,  sehingga memiliki kekuatan yang teraltih dan bersenjata lengkap. Satuan-satuan militer yang mendukung APRI antara lain Resimen IV/TT-1/ Bukit Barisan  di bawah komandan Letkol Achmad Husein,  Tentara Territorium I di bawah komandan Kolonel Mauluddin Simbolon,  Tentara Teritorium II di bawah pimpinan Letkol Barlian, dan lainnya. Pada 22 Desember 1956 Panglima TT-1, Kolonel Simbolon  di Medan bahkan telah terlebih dahulu memutuskan hubungan dengan pemerintahan pusat.  Dari sisi kemampuan tempurnya yang terlatih,  jumlah total pasukan PRRI sekitar 10.000 0rang. 

Selain memiliki pasukan yang terlatih pasukan PRRI juga memunyai senjata-senjata modern yang kemudian diketahui sebagai bantuan dari AS (CIA).  Persenjataan yang terdeteksi oleh intelijen APRI pada 28 Februari 1958 dan dikirim melalui penerbangan gelap ke Sumatera itu antara lain 15 senjata mesin ringan, 125 pucuk senapan laras panjang, dan dua senapan mesin berat lengkap dengan pelurunya.  Dengan memperhitungkan bahwa kekuatan militer yang dimiliki PRRI sebelumnya merupakan pasukan reguler dan memiliki persenjataan yang digelar dalam kawasan luas, APRI  di bawah komando KSAD  Kolonel  AH Nasution pun segera menggelar operasi gabungan. Sebagai komandan operasi  gabungan ditunjuk perwira TNI AD yang sudah cukup pengalaman, Kolonel Achmad Yani.  Sejumlah operasi yang digelar untuk membereskan PRRI antara lain Operasi Tegas, Operasi Saptamarga, Operasi Sadar, dan Operasi 17 Agustus.

Peran AURI
Sebagai operasi gabungan yang melibatkan seluruh kekuatan APRI, peran kekuatan AURI (TNI AU) sangat dominan karena bertugas menerjunkan pasukan, menerjunkan logistik, memberikan air cover, bantuan tembakan udara kepada pasukan darat, misi SAR, dan lainnya.  Kekuatan udara  AURI  yang dikerahkan antara lain 26 pesawat C-47 Dakota, enam pesawat pemburu P-51 Mustang, delapan pembom B-25 Mitchell, enam AT-16 Harvard yang dipersenjatai, dan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI. Sedangkan kekuatan ALRI yang dikerahkan terdiri dari enam kapal perang, 19 kapal transpor dan ribuan prajurit AL. Angkatan Darat RI juga mengerahkan ratusan prajurit  RPKAD  yang dalam misi tempurnya akan diterjunkan melalui udara dan didaratkan menggunakan kapal ALRI. Jumlah pasukan APRI yang dikerahkan untuk menumpas PRRI sekitar  50.000 orang.

Menurut Marsma (Purn) Augustinus Andoko (84)  saksi hidup Operasi Tegas yang turut menerbangkan Dakota,  untuk melancarkan operasi militer merebut Riau Daratan itu taktik tempurnya dititikberatkan pada unsur pendadakan. Target lain Operasi Tegas adalah membebaskan Pangkalan Udara Simpang Tiga, Pekanbaru  yang selanjutnya akan digunakan sebagai basis terdepan guna menghadapi PRRI. Sebanyak 26 Dakota dari Skadron Udara 2 yang telah disiapkan di pangkalan aju Tanjung Pinang, tidak semuanya diterbangkan oleh pilot-pilot AURI karena masih terbatasnya penerbang Dakota.

 “Pilot-pilot dari Garuda Indonesian Airways atau biasa disebut Wing Garuda juga ikut dilibatkan. Saya sendiri saat itu sebenarnya bukan pilot Dakota dari Skadron 2, tapi menjabat Chief Instructor di Sekolah Penerbang Bandung,’’ jelas Andoko yang saat itu berpangkat Kapten Pnb. ‘’Tapi karena memiliki kemampuan menerbangkan Dakota dan karena kurang tenaga pilot, semua yang bisa menerbangkan Dakota pun dilibatkan. Saat itu semua instruktur dilibatkan dalam operasi sehingga para siswa penerbang pekerjaannya hanya duduk-duduk saja karena tidak ada instrukturnya,’’ tambah Andoko yang juga dikenal sebagai salah satu sesepuh TNI AU dan salah satu pendiri Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara (PPAU).

Andoko yang pada massa Perang Kemerdekaan RI  (1945-1947) tergabung dalam Tentara Pelajar Batalyon 300 itu mendapatkan kemampuan menerbangkan sejumlah pesawat, salah satunya Dakota, sewaktu mengikuti Pilot Course  di Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA), Bakersfield, California, AS (1950). Sebelum dikirim ke TALOA, Andoko yang lulus pendidikan SMTT (Sekolah Menengah Teknik Tinggi) Yogyakarta telah diterima sebagai kadet AURI (1949) dan sudah memiliki kemampuan terbang solo menggunakan pesawat L-4J.

Kemhan Rumuskan Formulasi "Cyber Defense"


Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Republik Indonesia sedang merumuskan formulasi prinsip dan filosofi cyber defense sebagai pedoman perang inkonvensional. Para wakil menteri pertahanan dari 21 negara pada pertemuan Seoul Defense Dialogue (SDD), Selasa (12/11) dan Rabu (13/11) menyadari pentingnya cyber defense, tapi mereka belum bisa merumuskan formula mengenai prinsip dan filosofi cyber defense.
"Semua negara sudah sibuk menangani cyber defense. Tapi, yang disentuh adalah masalah di hilir, sedang hulunya belum jelas," kata Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin di Tokyo (Kamis (14/11). Masalah cyber defense di hulu adalah ketidakjelasan prinsip dan filosofi cyber defense karena belum ada formulasinya. SDD belum bisa merumuskan formulasi itu.
Di level hilir, cyber war sudah terjadi. Sistem informasi institusi strategis sebuah negara, termasuk institusi pertahanan, diganggu bahkan bisa dilumpuhkan. Sistem informasi institusi strategis dirusak, sehingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Perang lewat jaringan informasi, baik berbasis telepon maupun internet kian marak.
"Ini bukan hanya urusan militer, tapi semua pihak," kata Sjafrie.
Bidang Cyber Monitoring Center Kemenhan saat ini ditugaskan untuk merumuskan formulasi tentang prinsip dan filosofi cyber defense. Indonesia berniat menjadi pionir dalam formulasi prinsip dan filosofi cyber defense. Setelah rampung, formulasi yang dibuat Indonesia ini akan disampaikan kepada negara lain agar cyber defense secara internasional dapat memiliki pedoman.
Perang konvensional sudah bergeser ke perang inkonvensional dan itu sudah terjadi sejak dulu. Pada masa lalu, perang gerilya adalah juga inkonvensional, tapi memiliki asas univesal.
Sekarang, cyber war juga inkonvensional, namun juga memiliki asas universal. Karena itu, kata Sjafrie, Indonesia perlu menginisiasi altenatif formulasi tentang pedoman cyber defense agar menjadi rujukan internasional.

Cerita Menegangkan KSAD Budiman Naik Helikopter MI-17

Cerita Menegangkan KSAD Budiman Naik Helikopter MI-17
(antaranews.com)

Tragedi jatuhnya Helikopter MI-17 yang menewaskan 13 dari 19 penumpang di Malinau, Kalimantan Utara menyisakan duka mendalam. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Budiman pun memiliki kenangan sendiri terbang dengan pesawat buatan Rusia itu.
Menurut Budiman, helikopter itu merupakan salah satu peralatan terbaik yang dimiliki Indonesia. Pesawat jenis itu juga baru saja didatangkan ke Indonesia dan kondisinya masih sangat bagus.
Pengalaman Budiman terbang bersama MI-17 diawali saat perjalanannya menyusuri hutan di Kalimantan. Kala itu, penerbangan dilakukan dalam rangka meninjau Ekspedisi Khatulistiwa.
"Saya gunakan itu di Kalimantan 4 kali penerbangan. Pada saat saya tahun 2011, 2012 pada saat saya meninjau dan menutup Ekspedisi Khatulistiwa, saya menggunakan untuk terbang," katanya usai menerima kontingen penembak TNI Angkatan Darat yang baru saja menang dalam Kejuaraan Menembak se-Asia Tenggara di Mabes AD, Rabu (13/11/2013).
Budiman menuturkan, kala itu dia menyusuri hutan belantara di Kalimantan dari satu titik ke titik lainnya. Butuh waktu 1,5 jam untuk berpindah dari satu titik ke titik lainnya. Dan, sepanjang penerbangan, tak ada yang dilihat selain hutan belantara dengan pohon yang sangat tinggi.
"Itu memang kalau terbang dari satu titik ke tempat lain lebih dari 1,5 jam yang kita lihat hanya hamparan hutan dan tidak ada medan medan terbuka. Jadi sepanjang 1,5 jam itu hutan yang luar biasa lebatnya. Ketinggiannya sangat tinggis seklai untuk pohon-pohonnya 3 tingkat untuk pohon pohonnya. Sehingga kalau kondisi pesawat sangat bagus," tuturnya.
Pengalaman itu, kemudian dikonversi ke tragedi yang baru saja menimpa jenis helikopter yang pernah membawanya menyusuri hutan Kalimantan. Dari segi muatan, kata Budiman, daya angkut MI-17 mencapai 3 ton.
Sedangkan, saat itu helikopter membawa logistik seberat 450 kg dan awak pesawat berjumlah 19 orang. Jika dijumlahkan, beban yang diangkut baru 1.850 kg. Ditambah tangki cadangan dengan berat maksimal 300 kg. Jadi, total muatan yang diangkut MI-17 saat itu bari 2.150 kg.
"Sehingga untuk beban tidak. Lebih betul-betul 10 meter turun mendarat ada angin yang cukup kencang, karena ketinggiannya 1.600 meter. Di atas puncak ketinggian yang kiri kanannya jurang. Tapi sekitarnya pohon yang sangat tinggi sekali."
"Tapi panjangnya sudah benar, yaitu 100x60 meter untuk kepentingan pendaratan. Dia sudah hapal benar, pilot meminta mekanik periksa kiri kanan, ok aman. Bersamaan dengan itu ada angin cukup kuat. Akhirnya buntutnya menyangkut pohon," ungkap Budiman.
Yang tersisa dari helikopter itu hanya bagian yang tersangkut dari pohon. Sisanya, sudah hancur akibat ledakan pasca menabrak pohon.

Skadron T-50i TNI AU, Lengkap Akhir Tahun 2013


Wakil Menteri Pertahanan Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin di pabrik KAI, Sacheon City, Gyeongnam, Korea Selatan (photo: Kenyot10/kaskus.co.id)
Wakil Menteri Pertahanan Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin di pabrik KAI, Sacheon City, Gyeongnam, Korea Selatan (photo: Kenyot10/kaskus.co.id)

Pesawat tempur T- 50i buatan Korea Selatan pesanan TNI akan tuntas diserahkan Korea Aerospace Industries Ltd akhir tahun 2013. Delapan pesawat telah diserahkan, sedangkan delapan sisanya akan diserahkan dalam dua bulan menjelang tutup tahun. “Kami akan serahkan tepat waktu sesuai pesanan,” ujar President & CEO Korea Aerospace Industries Ltd (KAI) Ha Sung-Yong saat menerima Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Wamenhan) Sjafrie Sjamsoeddin di pabrik KAI, Sacheon City, Gyeongnam, Korea Selatan (Korsel), Rabu (13/11).
Selain melihat pesawat T-50i kesembilan (nomor TT-5009) dan kesepuluh (TT-5010) yang masih dalam tahap ferry flight, Wamenhan dan rombongan meninjau pembuatan enam pesawat terakhir. Delapan pesawat T-50i sudah berada di pangkalan TNI AU, Madiun. TNI memesan satu skadron atau 16 pesawat T-50 buatan KAI sejak 2011. Namun, karena proses politik anggaran di DPR, pembuatan pesawat tempur ini baru dimulai pertengahan 2013.
Hadir pada kesempatan itu Dubes RI untuk Korsel John A Prasetio dan tiga pemimpin redaksi (pemred) media massa dari Indonesia, yakni Rikard Bagun dari Kompas, Heidy Lukito dari Gatra, dan Primus Dorimulu dari Suara Pembaruan, Investor Daily, dan Beritasatu.com.

Wakil Menteri Pertahanan Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin di pabrik KAI, Sacheon City, Gyeongnam, Korea Selatan (photo: Kenyot10/kaskus.co.id)
Wakil Menteri Pertahanan Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin di pabrik KAI, Sacheon City, Gyeongnam, Korea Selatan (photo: Kenyot10/kaskus.co.id)

Dalam peninjauan sepintas, tampak jelas keseriusan pemerintah Korsel dalam meningkatkan kemampuan di bidang industry militer. Pabrik pesawat KAI cukup besar dan dilengkapi peralatan modern. Selama 2,5 jam di Sacheon City terlihat beberapa pesawat tempur latih buatan KAI silih berganti take off, bermanuver di udara, dan landing. Ha Sung-Yong menyatakan kegembiraannya bekerja sama dengan Indonesia.
Setelah kerja sama ekonomi dan politik internasional, Korsel dan Indonesia meningkatkan kerja sama di bidang industri pertahanan. Pesawat yang ditumpangi Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin dan rombongan dari pangkalan udara Seoul ke Sacheon City pulang-pergi adalah Tetuko, pesawat CN-235 khusus pesawat angkut militer buatan PT Dirgantara Indonesia (DI)— dahulu PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).

Wakil Menteri Pertahanan Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin di pabrik KAI, Sacheon City, Gyeongnam, Korea Selatan (photo: Kenyot10/kaskus.co.id)
Wakil Menteri Pertahanan Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin di pabrik KAI, Sacheon City, Gyeongnam, Korea Selatan (photo: Kenyot10/kaskus.co.id)

Sjafrie memuji KAI yang sudah memproduksi tepat waktu pesawat tempur T-50i pesanan TNI. “Kami berterima kasih kepada Korsel yang sudah membantu modernisasi persenjataan TNI,” ujar dia. Pembelian satu skardon pesawat T- 50i dari Korsel, kata Sjafrie, merupakan langkah awal menuju kemandirian Indonesia dalam memproduksi pesawat tempur. Pemesanan 16 pesawat buatan KAI ini disertai transfer teknologi. Perlahan, PT DI akan memproduksi pesawat tempur.
Indonesia, kata Sjafrie, sudah memasuki era industri pertahanan. Bekerjasama dengan Korsel, TNI akan memproduksi pesawat tempur dan kapal selam. Panser dan sejumlah senjata sudah bisa diproduksi Indonesia. Modernisasi, peningkatan kekuatan militer, dan pembangunan industri pertahanan Indonesia sudah dimulai sejak sembilan tahun lalu.(Investor Daily).