Datangnya pesawat jet latih T-50 Golden Eagle mengisi jajaran alutsista TNI AU memberikan harapan baru dalam upaya pembangunan kekuatan dirgantara nasional. Pesawat Lead in Fighter Trainer
(LIFT) generasi terbaru ini diharapkan menjadi jenjang untuk
meningkatkan kapabilitas para penerbang tempur TNI AU di masa sekarang
dan mendatang. T-50 merupakan jenis jet latih ketujuh yang dioperasikan
TNI AU setelah de Haviland Vampire, MiG-15 UTI, L-29 Dolphin, T-33A T-Bird, Hawk Mk.53, dan Hawk
109. Berikut selayang pandang tujuh jet latih TNI AU dan perjalanan
panjang penantian T-50. Disiapkan oleh Roni Sontani dilengkapi tulisan
Rangga Baswara dan Setiyo Nugroho.
HUT TNI ke-68 pada 5 Oktober tahun ini ditandai kado
istimewa dengan telah berdatangannya beberapa alutsista baru melengkapi
kekuatan TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Upaya pemerintah menggelontorkan
anggaran untuk memperkuat alutsista yang dibutuhkan ketiga matra TNI ini
patut diberi acungan jempol dan dukungan. Bagaimana pun Tentara
Nasional Indonesia membutuhkan alutsista-alutsista yang sesuai dengan
perkembangan zaman, selain pengembangan sumber daya manusia yang harus
terus ditingkatkan.
Khusus TNI AU, datangnya pesawat EMB-314 Super Tucano yang menggantikan OV-10F Bronco
di Skadron Udara 21, lalu CN295 yang menggantikan Fokker 27 di Skadron
Udara 2, pesawat Latih Dasar Grob G 120TP-A yang akan menggantikan
pesawat AS-202 Bravo dan T-34C Turbo Mentor di Skadron Pendidikan 101, merupakan bagian dari pesawat-pesawat baru yang dibeli Indonesia dan telah datang secara bertahap.
Selain itu penambahan pesawat tempur Su-27SKM dan Su-30MK2 sehingga
Skadron Udara 11 genap memiliki 16 unit Su-27/30 berikut persenjataan
lengkapnya, menjadikan Skadron Udara 11 makin bergigi dan diperhitungkan
negara-negara tetangga. Sementara rencana penambahan sembilan pesawat
C-130H Hercules bekas pakai AU Australia untuk persiapan
Skadron Udara 33 di Makassar diharapkan makin menambah kekuatan unsur
pesawat angkut di wilayah Timur dan memenuhi kebutuhan dukungan
pergerakan pesawat tempur, personel, maupun logistik latihan, masih
ditunggu proses realisasinya. Demikian juga dengan pembelian helikopter Cougar yang akan dibuat oleh PT Dirgantara Indonesia akan meningkatkan kekuatan skadron sayap putar.
Sedangkan pembelian 24 F-16C Block 32+ yang dijadwalkan mulai mengisi
Skadron Udara 16 di Pekanbaru tahun depan, akan melengkapi kekuatan
tempur di wilayah Barat dan Tengah yang saat ini ditopang oleh dua
skadron pesawat Hawk 109/209, yakni Skadron Udara 12 di
Pekanbaru dan Skadron Udara 1 di Pontianak. Di wilayah Barat, TNI AU
juga sedang mempersiapkan skadron intai baru yang akan diisi oleh
pesawat CN235-200 MPA buatan PT Dirgantara Indonesia.
Dalam rencana ke depan, TNI AU juga akan mengganti pesawat F-5 Tiger
II Skadron Udara 14. Beberapa pesawat sedang dalam tahap penjajakan
pengkajian sehingga diharapkan nantinya didapatkan pesawat pengganti
yang sesuai dan kapabilitasnya tinggi. Sementara pesawat tempur IFX yang
dikerjasamakan produksinya dengan Korea Selatan, masih menunggu
kelanjutan prosesnya terkait kebijakan pemerintahan baru di negeri itu.
Elang Emas.
Tanggal 11 September lalu, dua unit Elang Emas T-50i tiba di Lanud
Iswahjudi, Magetan, Jawa Timur setelah melakukan penerbangan feri dari
pabriknya, Korean Aviation Industries (KAI), di Sacheon, Gyeongsang,
Korea Selatan. Penerbangan melalui Kaohsiung (Taiwan), Cebu (Filipina),
serta Balikpapan, Kalimantan Selatan. Sebelum mendarat di sarangnya
kedua pesawat yang diterbangkan oleh empat pilot uji KAI, Kwon Huiman,
Lee Dong-kyo, Kang Cheol, dan Shin Donghak itu disambut oleh dua Hawk
Mk.53 dengan callsign Hawk Flight di East Area
Iswahjudi Aerodrome yang diterbangkan oleh Komandan Skadron Udara 15
Letkol Pnb Wastum beserta Mayor Pnb Hendra dan Kapten Pnb Gultom beserta
Lettu Pnb Yudistira.
Setelah mendapat pengawalan dan penyambutan kehormatan, kedua Elang Emas join up dengan “saudara tua”-nya membentuk formasi kotak dipimpin flight leader
Komandan Skadron Udara 15. Di bawah, Pangkoopsau II Marsda TNI Agus
Supriatna, Danlanud Iswahjudi Marsma TNI Yuyu Sutisna, Vice Presiden KAI
Kim Kyuhak, dan segenap pejabat TNI/Polri serta Muspida se-Karesidenan
Madiun telah menunggu. Suasana riuh terdengar manakala pesawat bercat
biru kuning T-50 dan abu-abu Hawk Mk.53 tampak dalam pandangan mata, melakukan flypass dua kali di atas hanggar Skadron Udara 15 dari arah yang berbeda.
Indonesia menjadi pengguna pertama T-50 di luar Korea Selatan. Pesawat yang tampilannya mirip dengan F-16 Fighting Falcon
ini dikembangkan bersama oleh KAI dan Lockheed Martin, AS pembuat F-16.
Indonesia membeli 16 unit T-50i dimana delapan unit diberi cat aerobatic painting dan delapan lainnya diberi cat camouflage painting.
Jalan Panjang Menyongsong T-50
Perjalanan panjang menentukan pengganti Hawk Mk.53 menjelang masa pensiunnya, bagi TNI AU merupakan masa yang sangat melelahkan. Terlebih karena kesiapan pesawat Hawk
Mk.53 pun sudah semakin menurun. Dari delapan unit yang ada, tersisa
sekitar dua unit saja yang laik terbang. Padahal, di pundak Skadron
Udara 15 terletak beban untuk mencetak para pilot pesawat tempur TNI AU.
Dampak dari embargo suku cadang oleh Inggris dan juga utilisasi pesawat
yang sangat tinggi merupakan salah satu faktor penyebabnya.
Embargo yang diberlakukan Amerika Serikat kepada Indonesia dengan
alasan kejahatan kemanusiaan di Timor Timur paska referendum tahun 1999,
tak terkecuali Inggris sebagai sekutu utama AS dan sebagai produsen
pesawat Hawk Mk-53 dan Hawk 109/200, memiliki andil
utama dalam turunnya kesiapan alutsista TNI AU. Bagi TNI AU dampak yang
dirasakan langsung adalah embargo terhadap suku cadang seluruh pesawat
tempur buatan BAe Inggris ini.
Sementara di sisi lain pesawat Hawk Mk-53 sebagai pesawat advanced jet trainer
bagi para calon penerbang tempur TNI AU tetap dituntut kesiapannya agar
terus mampu mencetak penerbang-penerbang tempur handal, meskipun dengan
jumlah pesawat yang minim. Selain itu diharapkan regenerasi para
penerbang tempur tetap dapat berjalan dengan baik. Tuntutan
profesionalisme dengan modal dan sarana pendukung yang serba terbatas
pada waktu itu merupakan masa-masa sulit bagi TNI AU.
Di masa-masa sulit tersebut, tak terelakan sejumlah incident ataupun accident
juga mendera TNI AU. Seolah-olah menunjukan bahwa sehebat apapun
pesawat yang kita miliki tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya
perawatan dan ketersediaan suku cadang yang memadai. Pasca embargo tahun
1999 insiden diawali dengan jatuhnya pesawat Hawk Mk-53 pada 28 Maret
2000 di Lanud Iswahjudi, Madiun. Menyusul pada Juli 2000 pesawat A-4 Skyhawk
jatuh saat melaksanakan patrol rutin di Sulawesi Selatan, kemudian pada
21 November 2000 kecelakaan kembali terjadi dan menimpa pesawat Hawk yang jatuh di Pontianak.
Tanggal 28 Maret 2002 cobaan dan pukulan berat kembali dialami TNI AU khusunya Skadron Udara 15 ketika dua Hawk
Mk.53 yang sedang melakukan sesi latihan aerobatik bersenggolan di
udara dan jatuh di kawasan Lanud Iswahjudi. Merupakan kehilangan besar
bagi Skadron Udara 15, terlebih kehilangan penerbang-penerbang
terbaiknya yang tidak terukur nilainya. Acara Open Day dibatalkan dan
demi menghormati para penerbang yang gugur. Bendera setengah tiang
dikibarkan.
Peristiwa demi peristiwa getir dirasakan Skadron Udara 15 dan TNI AU,
meski demikian semangat tentu tidak boleh patah. Perbaikan dan
pembenahan terus dilakukan, bahkan wacana penggantian pesawat Hawk Mk.53 terus bergulir dengan dilakukannya kajian-kajian terhadap calon pesawat penggantinya.
Angin segar
Tekad TNI AU untuk memensiunkan Hawk Mk.53 dan diganti
dengan pesawat baru sudah bulat. Hal tersebut tertuang dalam rencana
strategis (Renstra) 2005-2009 Mabes TNI AU yang berencana melakukan
penggantian sejumlah alutsistanya seperti OV-10 Bronco, F-5 Tiger, Fokker-27, helikopter Sikorsky dan tentunya Hawk
Mk-53. Angin segar berhembus ketika KSAU Marsekal Herman Prayitno saat
itu, bertemu langsung dengan Dubes Ceko untuk Indonesia Pevel Rezac di
Mabes TNI AU Cilangkap Jakarta awal November 2007. Hal tersebut terkait
dengan pihak TNI AU yang mengajukan pengadaan pesawat tempur latih Aero
L-159 ALCA buatan Republik Ceko sebagai calon pengganti Hawk
Mk.53. Secara umum kunjungan Rezac bertujuan untuk menindaklanjuti
kesepakatan kerjasama pertahanan antara RI dan Republik Ceko yang telah
ditandatangani tahun 2006. Selain itu dibahas pula kemungkinan pembelian
Aero L-159 ALCA oleh TNI AU.
Dari Vampire hingga Golden Eagle
Sejak AURI membentuk
De Havilland DH-115 Vampire
Dalam rentang 67 tahun sejak terbentuk, TNI AU telah mengoperasikan
tujuh generasi pesawat jet latih. Generasi pertama jet latih TNI AU
dimulai dengan hadirnya pesawat de Havilland DH-115 Vampire
buatan Inggris tahun 1955. Sebanyak empat unit pesawat ini tiba di
Pelabuhan Tanjung Priok pada 3 Desember 1955 dalam keadaan terurai dan
kemudian dirakit di Lanud Andir (Husein Sastranegara) yang disiapkan
menjadi home base-nya.
Sebelum pesawat tiba, TNI AU (saat itu sebutannya AURI) telah
mengirimkan dua penerbangnya yakni Letnan Udara (LU) I Leo Watimena dan
Kapten Udara Roesmin Nurjadin ke Royal Air Force (AU Inggris) di Little
Risington dan South Corney. Keduanya menjalani pendidikan terbang dan
instruktur selama beberapa bulan di sana. TNI AU juga mengirimkan
beberapa teknisi yang akan menangani pesawat pancar gas ini. Mereka
adalah LU II Sarjono, LU II Kamarudin, dan Letnan Muda Udara (LMU) I
Sutedjo. Para teknini ini pula yang kemudian setelah mengikuti
pendidikan di Inggris merakit Vampire di Lanud Husein Sastranegara dibantu oleh dua orang teknisi dari Inggris. Pada tanggal 10 Januari 1956, empat unit pesawat Vampire datang lagi sehingga jumlahnya menjadi delapan unit.
Hadirnya pesawat-pesawat pancar gas dalam kekuatan TNI AU sekaligus
menandai peningkatan alutsista udara AURI kala itu. Pesawat beregistrasi
J-701 hingga J-708 ini semula dimasukkan ke dalam Kesatuan Pancar Gas
(KPG) yang diresmikan langsung oleh KSAU Laksamana Muda Udara Suryadi
Suryadarma tanggal 20 Februari 1956. Selanjutnya berdasarkan Surat
Keputusan KSAU: Skep/56/III/1957 pada tanggal 20 Maret 1957. KPG
selanjutnya diubah menjadi Skadron XI dengan sebutan Skadron Jet Pelatih
Tempur yang peresmiannya dilaksanakan tanggal 1 Juni 1957. LU I Leo
Wattimena ditunjuk sebagai komandan skadron pertamanya.
Vampire TNI AU adalah versi T.55 atau varian ekspor dari T.11 yang digunakan AU Inggris dengan tempat duduk side by side. Pesawat ini tak bersenjata dan murni digunakan sebagai pesawat latih lanjut untuk mencetak calon penerbang tempur. Vampire
hanya bertahan selama tujuh tahun saja. Namun kehadirannya merupakan
suatu lompatan hebat bagi TNI AU, karena di kala itu masih segelintir
negara yang mengoperasikan pesawat jet latih. Kedelapan pesawat DH-115
ini akhirnya dijual ke India tahun 1963 akibat kekurangan suku cadang,
dimana saat itu hubungan Indonesia dan Inggris mulai renggang akibat
konflik serumpun antara Indonesia dan Malaysia.
Buku “Sejarah Angkatan Udara Indonesia 1950-1959” yang dikeluarkan Dispenau tahun 2005 menyebut, jumlah pesawat Vampire yang dimiliki TNI AU adalah 16 unit. Karena setelah pembelian delapan unit, AURI kemudian menambah lagi delapan unit Vampire sehingga total menjadi 16.
Spesifikasi DH-115 Vampire:
- Awak : 2 orang
- Panjang : 10,5 m
- Rentang sayap : 11,5 m
- Tinggi : 2 m
- Berat Kosong : 3.304 kg
- MToW : 5.620 kg
- Mesin : Goblin 35 centrifugal turbojet, 14.90 kN
- Kecepatan Maks. : 882 km/jam
- Jarak Jangkau : 1.960 km
- Ketinggian Terbang : 13.045 m
Aero CS-102 UTI
Skadron Udara 11 kedatangan anggota baru sebanyak 20 pesawat latih
jet CS-102 yang tiba di Kemayoran dari Cekoslovakia tanggal 14 Agustus
1958. Seperti halnya DH-115 Vampire, pesawat ini juga
memperoleh registrasi dengan kombinasi huruf dan angka awal J-7 (J-751
hingga J-770). Pesawat latih dengan bentuk mungil buntet ini dibuat
lisensi oleh pabrik pesawat Aero Vodochody berdasar MiG-15 UTI yang
mulai diproduksi tahun 1954. Sebelum kedatangan jet latih ini kadet
penerbang dikirim terlebih dahulu ke Ceko dalam tiga gelombang angkatan
dengan sebutan Cakra I, II, dan III.
Pesawat yang mendapat julukan Midget oleh NATO ini dikembangkan tahun 1949 berdasar penempur MiG-15 Fagot
yang terkenal memiliki manuver tempur yang hebat yang sempat berjaya
dalam Perang Korea tahun 1950-1953. Pesawat Blok Timur ini sanggup
mempecundangi pesawat-pesawat tempur jet buatan AS kala itu seperti F-80
Shooting Star, F-84 Thunderjet, dan F-86 Sabre.
Versi MiG-15 UTI menjadi andalan negara-negara Blok Timur untuk
mencetak pilot tempurnya. Selain Ceko, jet latih ini diproduksi oleh
pabrik Shenyang dari China dengan kode JJ-2. Lisensi produksi juga
didapatkan oleh Polandia dengan nama SB Lim-1.
Bagi Indonesia, pembelian jet latih CS-102 jadi pilihan tepat karena
digunakan untuk mencetak pilot yang akan menerbangkan keluarga penempur
MiG-17, MiG-19, dan MiG-21. Dengan ini konversi kadet penempur lebih
cepat karena semua pesawat dikembangkan oleh satu biro desain.
Pasca-pemberontakan G30S pasokan suku cadang pesawat terhenti akibat
dari putusnya hubungan diplomatik dengan negara-negara Blok Timur.
MiG-15 UTI versi Ceko ini akhirnya dilikuidasi awal tahun 70-an
bersamaan dengan adiknya MiG-17 dan MiG-21. Sementara seluruh MiG-19
dijual ke Pakistan.