Sebagai
prajurit terbaik dan elit dari jajaran kesatuan yang menjadi kebanggaan Kodam
IV/Diponegoro, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta kepada seluruh
Prajurit dari Batalyon Infantri 400/Raider untuk melakukan tugas operasi
kemanusiaan di daerah penugasan. Selain melaksanakan tugas negara sebagai
Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Pamtas), di wilayah perbatasan antara RI
dan Papua Nugini.
"Saya meminta selain tugas operasi,
TNI juga memberdayakan masyarakat setempat. Karena kehidupan saudara kita di
perbatasan Papua jauh dari kesejahteraan. Saya berharap TNI mengembangkan tugas
operasi kemanusiaan. Istilah TNI, yakni pembinaan teritorial. Sehingga membuat
rakyat Papua makin maju dan sejahtera. Sehingga rakyat Papua juga memiliki rasa
nasionalisme, patriotisme dan semangat kebangsaan yang tinggi,"katanya, saat
memberikan amanat sebagai Inspektur Upacara Pemberangkatan Satuan Tugas
Batalyon Infantri 400/Raider ke Papua, di Mako Yonif 400/Raider, Srondol, Jumat
pagi (28/11).
Gubernur juga meminta prajurit
untuk terus menjaga kekompakan, loyalitas, dan disiplin agar dapat melaksanakan
tugas ini dengan baik, selamat, aman dan berhasil. Kemudian melaksanakan tugas
sesuai protap yang berlaku agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian
hari. "Selain itu, implementasikan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit dengan baik
agar nama baik kesatuan dan Kodam IV/Diponegoro sebagai kebanggaan Jawa Tengah
dapat terjaga,"tegas Gubernur yang juga didaulat menjadi warga Kehormatan TNI
itu.
Gubernur menyampaikan tugas operasi
yang dilaksanakan merupakan kehormatan dan kepercayaan pimpinan TNI dan negara.
Tidak semua prajurit TNI lainnya mendapat kesempatan seperti ini. "Jadi, saat
ini saudara semua adalah prajurit terbaik yang dimiliki untuk menjalankan tugas
negara mengamankan wilayah perbatasan antara RI dan Papua Nugini,"tegasnya.
Tak hanya itu, Gubernur berpesan
kepada seluruh prajurit, karena tugas ini tidak ringan, karena kita tahu
bersama bahwa wilayah perbatasan Papua masih rentan terjadi gerakan-gerakan
yang menggangu keamanan dan ketertiban masyarakat atau gerakan-gerakan
separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI. "Namun saya yakin, rekan semua
prajurit sejati yang punya fisik dan mental baja. Saudara semua adalah prajurit
yang memang disiapkan untuk menghadapi situasi dan kondisi apapun dalam rangka
mempertahankan keutuhan NKRI. "Jadi NKRI Harga Mati","tambahnya dengan
semangat.
Hadir dalam upacara tersebut:
Kasdam IV/Diponegoro Brigjen TNI Ibnu Darmawan, Kapolda Jateng Irjen Pol Noer
Ali, Kapendam IV/Diponegoro Kolonel Arh Elphis Rudy dan para Pejabat Kodam
IV/Diponegoro serta tamu undangan.
|
Jumat, 28 November 2014
Prajurit 400/Raider Ikut Laksanakan Pembinaan Teritorial di Papua
AR 325 Commander: Radar Kohanudnas Pemantau Ruang Udara ALKI II
Wilayah Ambalat adalah salah satu hotspot di perbatasan yang kerap menimbulkan tensi tinggi antara Indonesia dan Malaysia.
Selain potensi gesekan di perairan, adanya gesekan yang menyangkut
ruang udara juga potensial terjadi, sebut saja TNI AU beberapa kali
pernah menyiapkan flight jet pemburu F-16 Fighting Falcon dan Sukhoi Su-27/Su-30 di Lanud Tarakan sebagai pangkalan aju bagi jet tempur TNI AU untuk menjangkau area Ambalat.
Di tiap wilayah di perbatasan, apalagi yang punya potensi konflik
tinggi sudah lumrah bila didukung pantauan udara lewat perangkat radar (radio detecting and ranging). Dan, menyangkut palang pintu utara corong tengah Alur Laut Indonesia mendapat perhatian khusus dari Kohanudnas (Komando Pertahahan Udara Nasional).
Meski tak ada penempatan skadron tempur di area Tarakan dan Ambalat,
namun ruang udara di sekitarnya telah terpantau oleh Satuan Radar
(Satrad) 225 yang berbasis di Tarakan, Kalimantan Timur. Peran Satrad
225 tak hanya memberi Early Warning (EW), tetapi juga membawa peran taktis sebagai Ground Controlled Interception (GCI), yakni deteksi dini dan pengendalian langkap intersepsi pesawat tempur sergap, alias menuntun jet pemburu ke posisi black flight.
Uniknya, radar yang dioperasikan Satrad 225 Tarakan, punya jenis
serupa dengan radar di Satrad 224 di Kwandang, Gorontalo Utara dan
Satrad 223 di Balikpapan, Kalimantan Timur. Khusus Satrad 224 punya
tugas yang hampir mirip dengan Satrad 225, yakni mengawasi corong tengah
Alur Laut Indonesia yang berada di kawasan Utara. Bedanya, bila Satrad
225 Tarakan cakupan (coverage) jangkauan radarnya lebih banyak bersinggungan dengan Malaysia, maka Satrad 224 Kwandang lebih banyak bersinggungan dengan coverage
wilayah batas laut Filipina bagian selatan. Wilayah operasi satrad 225
Tarakan berupa garis tengah imaginer dengan garis tengah lebih kurang
940 Km, 2/3 bagian adalah di wilayah udara Nasional Indonesia, sedangkan
1/3 bagian masuk ke wilayah udara Malaysia dan wilayah udara Filipina
Selatan.
Sementara Satrad 223 Balikpapan lebih punya peran memantau ruang
udara di lokasi obyek vital (obvit) berada, serta mengawasi kondisi
udara di sekitar Selat Makassar yang memisahkan antara Pulau Kalimantan
dan Pulau Sulawesi. Maklum sebagai alut laut, kawasan ini banyak
dilintasi kapal-kapal asing. Sebagai info tambahan, wilayah corong
tengah akrab juga disebut sebagai Alur Laut Kepulauan Indonesia II (ALKI
II).
Melihat kondisi diatas, sudah barang tentu ketiga Satrad di poros
Balipapan, Tarakan, dan Kwandang multlak di dukung perangkat radar yang
memadai. Nah, untuk jenis radar yang digunakan ketiga Satrad adalah AR
325 Commander buatan Plessey, Inggris. Radar ini pada dasarnya merupakan
Radar Early Warning (EW) dengan Primary dan Secondary Radar.
Radar Primary menggunakan TWT dengan jarak jangkau 25 – 470 km,
sedangkan Secondary Radar memiliki jarak jangkau 0 – 470 km. Sementara
ketinggian sapuan radar mencapai 18.000 meter.
Primary Surveilance Radar (PSR) mampu mendeteksi sasaran di udara
sejauh mungkin di wilayah udara nasional dengan memancarkan gelombang
elektromagnetis dan memanfaatkan signal echo yang dipantulkan
sasaran dan diproses sampai menjadi data tampilan dari sasaran yang
ditangkap. Sementara Secondary Surveilance Radar (SSR) mampu mendeteksi
sasaran di udara bagi pesawat udara yang menggunakan transponder.
Radar Plessy AR 325 Commander bukanlah jenis baru seperti halnya radar Master T buatan Thales.
AR 325 Commander mulai di install pada periode tahun 1992 – 1993. Salah
satu fitur yang dimiliki radar AR 325 Commander adalah target scanning
melalui perputaran antena yang dikendalikan oleh drive system. Drive
system terdiri dari motor dan reduction gear serta membutuhkan suplai
bahan bakar yang relatif besar. Proses target scanning dilakukan untuk
memperoleh informasi penerbangan seperti range, azimuth, elevation, dan
informasi lain yang berdekatan. Parameter-paremeter tersebut merupakan
syarat mutlak untuk mendeteksi keberadaan pesawat terbang, baik pesawat
komersial maupun pesawat militer. Dengan adanya data-data penerbangan
yang akurat, keberadaan suatu pesawat di udara akan mudah diamati secara
cermat sehingga dapat memudahkan dalam penentukan tindakan militer yang
tepat maupun pengaturan lalu lintas udara.
Untuk meningkatkan kemampuan operasi Satrad 223 Balikpapan maka pada
bulan Juni 1993 telah diinstalasi peralatan Multi-Role Operation Cabin
(MROC) yang digunakan sebagai sarana GCI yang diintegrasi dengan 3
(tiga) Radar EW di Kwandang, radar EW Balikpapan, Radar EW Tarakan dan Basic SOC (Sector Operation Center) di Makassar.
Spesifikasi radar Plessey AR 325 Commander
– Frekuensi operasional : 2 -3Ghz
– Jumlah frekuensi : 32
– Jumlah beam : 9
– Gain antena : 41,8 dB
– Azimuth beamwidth : 1,4 derajat
– Elevation beamwidth : 1,5 – 3,5 derajat
– Kisaran jarak jangkau : 25 – 470 km
– Kisaran sudut elevasi : 0 – 20 derajat
– Kecepatan rotasi antena : 6 rpm
– Frekuensi operasional : 2 -3Ghz
– Jumlah frekuensi : 32
– Jumlah beam : 9
– Gain antena : 41,8 dB
– Azimuth beamwidth : 1,4 derajat
– Elevation beamwidth : 1,5 – 3,5 derajat
– Kisaran jarak jangkau : 25 – 470 km
– Kisaran sudut elevasi : 0 – 20 derajat
– Kecepatan rotasi antena : 6 rpm
PT Pindad dan Saab Perpanjang Usia Operasional Rudal RBS-70 Arhanud TNI AD
Bagi Arhanud TNI AD, rudal RBS-70 punya kesan tersendiri, pasalnya inilah rudal MANPADS (Man Portable Air Defence System)
pertama yang dimiliki TNI AD. Rudal besutan Saab Bofors Swedia ini di
datangkan pada era Soeharto atau dekade 80-an. Ada dua jenis RBS-70 yang
dioperasikan Arhanud TNI AD, yakni RBS-70 MK-1 dan RBS-70 MK-2.
Keduanya dibekadakan pada kemampuan jarak tembak, namun sama-sama
berpengendali berkas sinar laser. Dalam gelar operasinya, RBS-70
terintegrasi dengan radar pemandu Giraffe.
Bila dirunut dari usianya, RBS-70 tentu sudah tak muda lagi, karena beberapa sudah end of life, rudal berkemapuan SHORAD (Short Range Air Defence) ini banyak yang tak lagi dapat ditembakkan. Setidaknya
ada dua satuan yang mengoperasikan RBS-70, yakni Yon Arhanudse
15/Dahana Bhaladika Yudha, merupakan satuan bantuan tempur yang berada
di lingkungan Kodam IV/Diponegoro, berkedudukan di Semarang, Jawa
Tengah. Lalu ada lagi Yon Arhanudri 2 Divisi Infantri 2 Kostrad yang
berkedudukan di Malang, Jawa Timur.
Namun kiprah RBS-70 tak lantas mati, dikutip dari Janes.com
(23/11), pada 20 November 2014 telah dilakukan penandatanganan
kerjasama antara Saab dan PT Pindad untuk memperpanjang usia operasional
rudal RBS-70 TNI AD. Paket kerjasama tentu bukan sebatas memperpanjang
usia RBS-70, PT Pindad dan Saab akan berkolaborasi dalam memasarkan
sistem GBAD (Ground Based Air Defence). Kesepakatan itu
mengikat dalam jangka waktu panjang, dengan tujuan memenangi bisnis
pertahanan udara nasional di Indonesia. Disepakati pengembangannya
dilakukan secara bertahap.
GBAD merupakan kelompok sistem senjata yang terdiri dari rudal
RBS-70NG (Next Generation) dan radar Giraffe AMB. Sejak tahun 2013
diketahui Saab telah mengadakan pendekatan untuk memasarkan RBS-70NG dan
Giraffe AMB ke Kementerian Pertahanan RI. (HANS)
Pendidikan Taruna TNI – Polri Digabungkan
Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan akan menyatukan
pendidikan dasar anggota TNI dan Polri untuk membina harmoni dan
mencegah konflik di antara mereka. Moeldoko menyampakan hal itu pada
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pertemuan
dengan panglima komando utama operasional di Istana Bogor 28/11/2014.
“Kami telah sepakat dengan Kapolri, membuat proyeksi ke depan agar
taruna TNI dan Polri untuk kepentingan strategis ke depan akan kita
satukan kembali di Magelang,” kata Moeldoko di Istana Bogor, Jumat, 28
November 2014.
Menurut Moeldoko, rencananya penyatuan pendidikan dasar keprajuritan
tersebut akan berlangsung kurang-lebih enam bulan. “Jadi tercipta sebuah
harmoni, kondisi psikologis terbangun sejak awal.”
Dalam pertemuan dengan Jokowi dan Kalla itu, Moeldoko mengatakan
bahwa pangkotama akan secara khusus melaporkan apa yang terjadi dalam
konflik antara TNI dan Polri di Batam. “Kita akan melaporkan secara
khusus yang terjadi.”
Jenderal Moeldoko menegaskan bahwa pada dasarnya hubungan antara TNI
dan Polri berjalan baik dan harmonis di tiap tingkatan. Di tiap kota,
tiap daerah, kata Moeldoko, terbukti hubungan antaranggota TNI dan Polri
terbina dengan baik.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengadakan
pertemuan dengan para panglima komando utama operasional di Istana
Bogor. Pertemuan dimulai pada pukul 08.00 WIB. Dalam pertemuan ini, tiap
panglima komando utama akan menyampaikan persoalan yang terjadi di
wilayahnya. Tiap pangkotama memiliki waktu tiga menit untuk curhat
dengan Jokowi dan Kalla.(Tempo.co).
TNI Tambah Kodam dan Bangun Armada Tengah
Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengharapkan
Presiden Joko Widodo segera mengesahkan pembentukan tiga komando
gabungan wilayah yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara. Ketiga komando gabungan ini tinggal menunggu peraturan
presiden untuk bisa diwujudkan.
“Kami telah melakukan penataan organisasi. Pertama, pembentukan
komando gabungan wilayah pertahanan. Kami mengusulkan atas pembentukan 3
komando gabungan pertahanan. Untuk itu, hanya menunggu keputusan Bapak
Presiden,” ujar Moeldoko di hadapan Presiden Jokowi di Istana Bogor,
Jumat (28/11/2014).
Moeldoko menuturkan soliditas TNI saat ini sebenarnya sudah berjalan
dengan baik. Namun, jenderal bintang empat itu menyoroti khusus perlunya
ditekan egoisme sektoral setiap kesatuan. “Semua ego sektoral harus
ditekan habis,” tukas Moeldoko.
Selain meminta pembentukan tiga komando gabungan wilayah, Moeldoko
juga melaporkan bahwa TNI akan segera membentuk Kodam Manado dan Papua,
Divisi 3 Kostrad, dan armada tengah untuk TNI Angkatan Laut. Adapun
untuk Angkatan Udara, TNI akan menambah satu korps, yakni Korps AU 3.
“Untuk memenuhi doktrin sistem pertahanan negara, maka setiap Kepala
Staf Angkatan nanti akan ada Asisten Teritorial, selama ini hanya di
Angkatan Darat. Ini pertimbangan signifikan untuk diadakan,” papar
Moeldoko.
Hari ini Presiden Jokowi mengumpulkan para panglima komando daerah
seluruh Indonesia. Jokowi meminta mereka untuk menuangkan kendala yang
dihadapi di lapangan. Setelah bertemu para pangdam, Jokowi akan bertemu
dengan kepala kejaksaan tinggi pada siang hari.
PENJAGA PERBATASAN NKRI
Di tengah riuhnya perbincangan alutsista yang
dimiliki oleh negara dan potensi konflik kawasan yang sering kali naik
turun temperaturnya, terkadang berita penempatan dan Pergeseran Pasukan
(SERPAS) yang bertugas menjaga Perbatasan NKRI, tenggelam dan
terlewatkan.
Dengan rata-rata durasi penempatan selama sembilan bulan, para
prajurit secara bergantian bertugas menjaga perbatasan. Dalam
menjalankan tugas ini, para personil meninggalkan keluarganya dengan
risiko di tempat dinas terkena: Demam Berdarah, Desentri, Penyakit
Endemik lainnya hingga Malaria. Pasukan yang tidak dibekali obat-obatan
dan pengetahuan tentang Malaria pada khususnya dapat menyebabkan
meninggalnya personil tersebut. Seperti pada kejadian Insiden Penembakan
Timika 1996 dimana pada tanggal 15 April 1996 seorang anggota Kopassus,
Letnan Dua Sanurip menembak mati 16 orang (3 perwira Kopassus, 8
perwira ABRI, 5 warga sipil termasuk pilot Airfast Michael Findlay dari
Selandia Baru) dan melukai 11 orang. Diduga Letnan Sanurip sedang
menderita depresi atau malaria menjadi pemicu insiden dimaksud dan pada
akhirnya Letda Sanurip dijatuhi hukuman mati pada 23 April 1997.
Sekalipun berdinas dalam situasi damai namun menjaga perbatasan
terlebih berada di Jalan Tikus tentulah memiliki tantangan tersendiri.
Kondisi terkucil, terisolasi, jauh dari pasar bahkan kampung penduduk,
sumber makanan terbatas, Sanitary yang tidak memadai, lemah atau bahkan
tidak adanya sinyal dari operator selular menciptakan tekanan psikologis
tersendiri. Seringkali kunjungan dari warga Indonesia terlebih yang
berasal dari satu daerah di pos penjagaan merupakan hiburan tersendiri
karena adanya kedekatan dengan masyarakat dimaksud seolah menjadi obat
penghilang rasa kangen akan kampung halaman para perajurit penjaga
perbatasan.
Untuk menjaga rasa bosan dan juga merupakan bentuk kecintaannya akan
NKRI, Aiptu Ma’ruf dengan dukungan materiil yang minim berusaha
memajukan pos perbatasan dengan mendirikan semacam tempat singgah dan
memelihara taman. Tempat singgah inilah yang menjadi cikal bakal pos
perbatasan di Distrik Sota, Kabupaten Merauke yang menjadi ramai
dikunjungi wisatawan hingga saat ini. Untuk mendukung Kekuatan
Pertahanan di Perbatasan/Teras NKRI maka hendaknya perlu mendapat
dukungan dan perhatian lebih baik dari Pemerintah Daerah, Pemerintah
Pusat dan khususnya Mabes TNI dan POLRI untuk lebih meningkatkan
kesejahteraan prajurit, Sanitasi termasuk fasilitas Kesehatan, dukungan
Pendidikan/Sekolah di perbatasan, disamping tentunya perkuatan Markas
Militer, Helipad dan Alutsista yang mumpuni.
TNI AL baru punya 151 kapal perang, idealnya 400 KRI siap tempur
TNI Angkatan Laut
sedang galak menahan kapal asing yang mencuri kekayaan maritim di
Indonesia. Namun mereka mengaku masih memiliki hambatan dalam pengamanan
di laut. Salah satunya keterbatasan armada kapal perang yang ada saat
ini.
Jumlahnya masih sangat kurang untuk mengamankan wilayah laut Indonesia yang sangat luas.
“Keterbatasan kapal masih menjadi kendala. Saat ini hanya sekitar
60-70 kapal yang melakukan operasi di tiga alur laut kepulauan Indonesia
(ALKI),” kata Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut (Kadispenal)
Laksamana Pertama TNI Manahan Simorangkir, kepada Antara, Rabu (26/11).
Kadispenal yang didampingi sejumlah stafnya di jajaran Dispenal,
mengatakan, dalam menjalankan tugasnya, kapal-kapal patroli tersebut
sudah melaksanakan konsep operasi pengamanan ALKI, perbatasan, dan
operasi-operasi yang dilaksanakan karena tugas-tugas TNI AL sendiri.
Dengan luas lautan yang dimiliki Indonesia, idealnya TNI dapat
mengoperasikan 300-400 KRI. Jumlah ini jauh lebih besar dari jumlah yang
saat ini dimiliki, yaitu baru 151 unit.
“Dengan menghitung luas laut yang harus diawasi,
dibandingan dengan jumlah kapal, kecepatan kapal dan daya deteksi,
idealnya dioperasikan segitu (300-400 kapal),” kata Manahan.
Tak hanya itu, ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) untuk mengoperasikan kapal perang juga belum memadai.
“Pada 2012 kuota BBM hanya 13 persen, pada 2013 meningkat menjadi 21
persen. Pada 2014 ini bertambah menjadi 41 persen dari kebutuhan untuk
operasi pengamanan laut,” ujarnya.
Namun demikian, TNI AL kini juga sudah mampu mengeliminir kekurangan
ketersediaan kapal patroli. Caranya, dengan meningkatkan kapabilitas
seluruh kapal patroli yang dioperasikan untuk membantu mengurangi
upaya-upaya illegal fishing.
“Kita memiliki komitmen untuk melakukan pengamanan laut agar kasus-kasus pencurian ikan dapat diminimalisir,” katanya.
Manahan menambahkan, dengan adanya perubahan Badan Koordinasi
Keamanan Laut (Bakorkamla) menjadi Badan Keamanan Laut (coast guard),
maka operasi keamanan laut akan lebih efektif dan efisien dalam
penggunaan bahan bakar. (merdeka.com)